Firibook, Minggu (24/11/2013) - Setelah memilih untuk berbusana ala ikhwa (celana sebatas mata kaki/bebas isbal) sejak beberapa bulan lalu, belakangan ini saya mulai menemukan kenyamanan dan hikmahnya.
Ternyata pilihan ini, selain tentunya--yang utama--sebagai upaya mencoba berbusana yang sesuai sunnah, juga telah membuat saya tak lagi berada pada sirkuit (meminjam istilah rekan Yusran Darmawan) life style dan trend fashion.
Gejalanya, saya tak lagi terlalu peduli dan ribet memilah/memilih apa busana yang gaya setiap keluar rumah. Yang penting nyaman. Dari dulu sih juga begitu tapi gejala ini terasa lebih "berasa" karena ada nilai lain (ikuti perintah Rasulullah) dibalik ketidakpedulian berbusana sesuai pakem fashion ini.
Ke mall atau saat nongrong di warkop/cafe biasanya suka intip-intip gaya atau merek busana dari pengunjung lain. Emangnya wanita aja...... kami pria juga punya kebiasaan ini walau tak akan ada pria yang mengakuinya.
Gaya cukuran dan sisiran rambut, stylenya wet look atau konvensional, kemeja, kaos (khusus saya dari mahasiswa, "panas" kalau ada yang mengenakan kaos yang bergambar dan tulisan rada kiri dan bernuansa protes sosial, inginnya selalu tanya beli dimana) dan jeans merek apa, jam tangan dan tas yang dikenakan.
Sepatu merek dan styel apa yang digunakan. Belum lagi seabrek gadget di genggaman, ada Blackberry, iPhone, hingga tablet.
Saya pernah berusaha dan mencoba untuk memaksakan diri mengikuti trend fashion tersebut. Mencoba rambut dengan style wet look (basah), berparfum hingga mengenakan sepatu mengkilap yang ujungnya bengkok (aladin style), namun absolutly tidak cocok dengan karakter, kebiasaan dan performance kampung dan muka intimidatif yang saya miliki hahahahah....
Kini...semua hal itu tak (begitu) lagi saya pedulikan. Walau masih ada sih....dikit-dikit (woeee.. saya masih tinggal di kota).
Imbasnya kini tak ada lagi keinginan menggebu-gebu dan alokasikan pos pengeluaran khusus untuk berbelanja kebutuhan fashion yang lebih trend dan gaya. Tak perlu lagi krasak-krusuk mencari tahu kepada rekan atau mereka-reka beli dimana semua hal itu.
Jadi teringat seorang ibu muda cantik istri seorang petinggi cabang sebuah BUMN, rekan di komunitas alumni Pelatihan Quatum Ikhlas, mengaku capek dengan urusan busana apa, model bagaimana hanya agar terlihat (lebih) cantik dibanding yang lain. Lalu kemudian ia memilih berhijab sebagai dermaga peristirahatan fashionnya.
Kayaknya pilihan saya untuk bercelana tak isbal, bersandal semi sepatu karet agar tak repot jika singgah shalat atau tak mengkhawatirkan hilang, hingga tak lagi peduli kenakan jam atau tidak (lah kan ada jam di hp), juga menjadi pelabuhan fashion ternyaman saat ini. Insyallah...(@firlafiri)