FIRIBOOK, Minggu (22/12/2013) - Jmat pagi kemarin (20/12), adik ipar saya M Asri menelpon. Ketika ia menelpon biasanya pasti ada sesuatu yang penting. Atau biasa pula adik bungsu saya Yeni (istri M Asri) yang menelpon.
Mereka berdua memang beralasan tak ingin selalu mengusik saya kakaknya dengan sering menelpon. Padahal sebagai kakak, merupakan kebanggaan kalau adik dan ipar merengek minta ini dan itu, termasuk kebutuhannya menjadi caleg.
Ya insting sebagai kakak inginnya dibutuhkan. Tapi mereka tidak mau, dan enggan menempatkan kakaknya ini seperti itu. Ya sudahlah....
Pagi itu, rupanya Asri ipar saya itu menginformasikan, nenek kami Ina/wa'i Maji, saudara dari kakek kami H Abidin (Abu Siki) telah meninggal dunia di jumat pagi. Ia meninggal di usia yang memang sudah ujur, dalam dekapan sakit tua, usia yang wajar.
Alhamdulillah...gumamku dalam hati. Beliau meninggal di hari Jumat. Meninggal hari Jumat salah satu tanda kematian yang khusnul khotimah, kematian dalam kemuliaan. Hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Umar RA. Dia mendengar bahwa Nabi SAW bersabda, “Tidaklah seorang Muslim meninggal dunia pada hari Jumat atau malamnya, melainkan Allah akan melindunginya dari fitnah siksa kubur.” (HR Tirmizi).
Ina Maji di desa kami, dulu dikenal sebagai dukun beranak, yang membantu proses kelahiran. Saya termasuk dan adik saya Yeni. Entah dengan kedua kakak kami, belum sempat tanyakan. Teringat saya duduk tak bergerak di samping ibu menanti keluarnya adik saya, dan wa'i Maji pun merasa tak terganggu dengan keberadaan saya.
Moga amal kebaikannya sebagai dukun beranak inilah yang berkontribusi pada ciri kematian yang mulia ini.
Wanita bertubuh tambun, gembrot dan pendek ini (mirip dengan postur ibu saya) sewaktu kecil kami kenal dengan ketawa khasnya yang nyaring dan bunyi kentutnya yang cetarrrr...membahana pula (faktor gendutnya kali ya...gas yang mampet dihalangi oleh lipatan lemak lalu bertekanan dan mengasilkan bunyi nyaring saat keluar), demikian juga dengan ibu saya.
Ibuku pernah bercerita sewaktu kecil saya pernah menjanjikannya membelikan televisi kalau besar kelak, sebagai imbalan telah membantu ibu saya melahirkan saya. Janji ini pula yang langsung saya ingat sewaktu ipar saya menginformasikan kematiannya.
Entah itu sekadar celetuk kanak-kanak, namun saya teringat selalu cerita itu. Suatu saat sewaktu saya pulang saat jeda kuliah, Ina Maji bernama asli Khadijah pun sempat mengingatkan janji Firman kecil itu.
Beberapa tahun terakhir karena usia yang renta beliau didera sakit tua. Ia pun pensiun dari profesi itu dan kampanye Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (salah satu unsurnya yakni melahirkan dengan bantuan bidan) juga turut mempercepat masa pensiunnya tiba. Dulu imbalan yang diberikan warga desa kami paling banyak beras sekilo dua kilo.
Duhh... saya baru sadar, saya tidak punya cerita dan keakraban yang banyak untuk dituturkan tentangnya. Selamat jalan wa'i Maji. Bakti mu moga jadi amal jariyah, bekal yang terus mengalir untuk perjalanmu kelak di akhirat.(Firmansyah Lafiri)