.

.

Senin, 23 Desember 2013

Atikah, Ibuku, Super Mom...

FIRIBOOK, Minggu (22/12/2013) - Hj Atikah H Abidin, nama ibuku. Biasa disapa Umi Tika atau oleh yang berusia lebih muda dengan sapaan umi Taku (sapaan penghormatan khas Bima). Ia diposisikan oleh bapak kami H Abdullah memegang kendali untuk semua urusan domestik rumah tangga dan anak-anak.


Kami anak-anaknya sangat dekat dengannya. Ya biasa sih..sebagai seorang ibu yang melahirkan. Maka wajar jika untuk persoalan kenakalan kami ibu yang punya urusan. Saat saya terlalu lama main, atau ngelayap bermain entah kemana ibu yang bertindak.

Terutama soal saya yang keranjingan mandi di sungai berbanjir, ibu sangat khawatir dan imbasnya berbuah hukuman bagi saya. Saya tak pernah kapok dan ibu pun tak pernah lelah memarahi.

Ia tegas, tapi penuh perhatian, pemaaf dan menyayangi. Metode dan doktrinnya mendidik kami sedikit banyak dipengaruhi oleh pengalamannya saat kecil. Ia besar di tengah keluarga yang broken home (kakek dan nenek kami cerai). Akibatnya ia diambil dan dibesarkan oleh saudara dari kakek kami, Tua Imo.

Tua Imo dipersunting oleh keluarga kerajaan Bima, salah satu jeneli (camat) di masa itu. Iya bangga mengetahui etika dan budaya keseharian keluarga kerajaan. Soal yang ini kakak saya yang kedua (Nurhaidah) yang diwarisi. Lagi pula ia yang berkesempatan ngekost di rumah tua Imo.

Ia tumbuh menjadi wanita yang keras dalam ketegasannya, mandiri karena keadaannya, menyayangi dan protektif pada kami karena trauma kecilnya terpisah dari orang tuanya. Wujudnya ialah ia sangat ekspresif dan mudah menumpahkan kemarahan, kegembiraannya, dan kesedihannya, tak dipendam perasaannya setelah itu selesai, normal kembali.

Ia tak rela ada orang dan kerabat yang meremehkan dan mengusik keluarganya. Ia tak pernah gentar sedikitpun untuk menghadapi dan berhadapan secara frontal. Sikap ini tak dipungkiri membuatnya menjadi sosok yang terlihat tempramen dan mudah melabrak siapa pun, jika ia merasa benar.

Urusan kegembiraan pun ia sangat eksplosif, mudah meledakkan tawanya. Kikikan tawanya kadang membuat gemes bapak kami, "Tuh..dimana lagi mamamu ketawa," ujar bapak mendengar dari jauh tawa ibu kami di rumah tetangga seberang. Ekspresi kegembiraan dan candaanya yang lain yakni dengan meledakkan kentutnya.

Ya...posturnya yang gemuk saya pastikan sebagai penyebab bunyi kentut itu. Bapak biasanya jadi korban bunyi meriam itu. lalu mereka cekikikan dan berderai tawa. Ibuku sangat jago membuat lelucon untuk bapak kami yang pendiam.

Soal prestasi dan pencapaian kami anak-anaknya juga menjadi ajangnya untuk menunjukan kegembiraan. Ia sangat gemar menceritakan tentang prestasi sekolah, aktivitas, dan karir kami. Rada bikin malu sih..untuk kegemarannya ini, tapi belakangan saya memahami, kami memaknai sebagai bawaannya untuk menunjukkan keberhasilannya sebagai orang yang pernah "terbuang" dan didera kesulitan.


Menyangkut hal-hal yang sentimentil ibuku sangat peka. Ia sangat gampang melinangkan air matanya.

Ibu kami hanya mengenyam pendidikan sampai di SMP. (Kalau tak salah) bapak kami gurunya. Keterbatasan pendidikannya kadang membuat kami sulit mengkomunikasikan ide dan memahamkannya. Namun hal ini pula menjadi keunggulannya membesarkan kami.

Ketika keluarga kami didera masalah keuangan, misalnya lantaran dua kakak saya meminta kiriman uang kuliah bersamaan dan dengan kata "segera". Bapak biasanya langsung terlihat mengerutkan kening tanda pusing tapi ibu kami menanggapi dengan enteng dan melakukan aksi solutif dan way out tanpa perhitungan dan analisis yang rumit layaknya bapak yang guru dan pintar secara akademik.

"Kenapa stres..tuh padi di bawah (di gudang...) jual," ujar umi kami mengingatkan aji. Hingga bapak tutup usia, ia mengakui benar kehebatan ibu kami soal keuangan dan meyelesaikan kerumitan masalah keluarga.

Doktrin kemandiriannya benar-benar terpatri pada kami. "Jangan pernah berharap pada orang lain sekalipun itu keluarga, upayakan dulu oleh diri sendiri sembari berdoa kepada Allah," ujarnya, ia rajin mengingatkan amalan dan doa yang mustajab warisan dari bapaknya Abu Siki dan tetua. Intinya menggantungkan persoalan hidup yang terbaik hanya kepada Allah.

Wujud kemandirian saya misalnya saya belum pernah hidup menumpang sama keluarga. Dari SMA saya sudah terbiasa kost berjauhan dengan keluarga. Kekurangan uang, karena telad kiriman bulanan sudah terbiasa saya berkreasi sendiri utamanya dengan penghematan yang ekstrim.

Mie instan 1 bungkus bisa saya pakai sebagai lauk selama 2 hari. Airnya diperbanyak. Ajaran ibu kami.

Pendidikan keagamaan berupa kemampuan mengaji sepenuhnya saya peroleh dari ibu saya. Ibu yang sabar mengajarkan mengaji. Bapak hanya sesekali memperbaiki tajwid. Untuk menyemangati saya agar pintar mengaji, ibu pernah menggombali Firman kecil, "Orang pintar mengaji bisa terbang seperti Superman dan Flash Gordon," ujarnya menyemangati dengan bahasa dan gairah kami sebagai bocah.

Obsesi, semangat, aktualisasi diri dan ekspresi, betul-betul warisan dari ibu kami. Ia bisa kelihatan lebih pintar dari bapak kami yang guru. Soal kemampuan berbahasa inggris misalnya. Ibu kami lebih jago berbincang meggunakan bahasa Inggris walau dengan kemampuan ala kadarnya. Soal ini, kayaknya menurun ke saya hehehe....

Kemampuannya berbicara, memotivasi, berceramah, uhh..sungguh bisa membuat keki para ibu searisan dan sepengajiannya yang memiliki pendidikan lebih baik. Beberapa tahun lalu Bupati Bima menobatkan sebagai ibu teladan wakil kecamatan kami.

Ahh..ibuku Atikah, Super mom... Batu, Batu yang keras, mutiaraku. Selamat Hari Ibu. (Firmansyah Lafiri)