FIRIBOOK, Selasa (24/12/2013) - Hari Minggu kemarin, Saya mengantar anak mengikuti lomba mewarnai di Mall MTos. Mamanya paling rajin mendaftarkan si Sulung Adwa' mengikuti lomba. Agar anak punya ruang untuk berekspresi, belajar berkompetisi, menghargai karya dan kemampuan orang lain katanya.
Kalau sudah begitu, saya kebingungan sendiri mau bikin apa di mall. Ujung-ujungnya window shopping buku di toko buku. Lihat judul buku terbaru, setelah itu kepanasan. Inginnya borong semua buku dan terinspirasi dan menghayal untuk menulis sesuai tema buku-buku baru tersebut.
Setelah puas melihat-lihat buku, saya ke Studio 21. Kebiasaan saat SMA ini. Hiburan kami anak kampung yang hidup mengontrak di kota yakni tiap akhir pekan ke pasar melihat-lihat poster film. Gratis dan lumayan menghibur.
Jika ada film tema ranjangnya Nurul Arifin, Saly Marcelina, hingga Suzanna, kami saling terdiam, khusuk menikmatinya yang ujung-ujungnya kami buru-buru pulang dan berlomba masuk kamar mandi (entah apa yang terjadi dalam kamar kecil itu, kalau saya sih pipis ahaiiiii....)
Untuk ukuran kantong kami anak kampung yang merantau/sekolah ke kota, mampunya menikmati film Minggu pagi. Kalau tak salah karcisnya hanya Rp 250 atau Rp 2.500 ya...? Kebanyakan film India Sahrul Khan. Ramai dan seru..karena penonton bisa tak sadar bertepuk tangan dan meneriaki bintang pujaannya itu.
Oh ya...di Studio 21 Mtos rupanya lagi bersaing film 99 Cahaya di Langit Eropa, Soekarno, dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (TKVDW). Pekan lalu, film 99 Cahaya sudah saya nonton pakai pacaran dengan istri. Anak ditinggalkan sama neneknya.
Nah..mumpung lagi di mall dan tidak ada kerjaan nonton ahhhh.... Film TKVDW pilihan saya. Penasaran karena sejak SMP kami sudah mengetahui dan membaca buku roman karya Buya Hamka. Sudah lupa-lupa ingat sih kisahnya.
Menonton sendiri rada tak enak. Apalagi disamping duduk ABG putri dan temannya. Mereka kayaknya mencurigai saya sebagai om-om gatel... Karena mereka duduk dengan sedikit membelakangi saya.Ingin sih kasih tahu saya ikhlas ingin menonton kok....
Namun rasa tidak nyaman sontak hilang ketika slide film TKVDW mulai diputar. Terasa film ini oase karena sepengetahuan saya satu-satunya film nasional yang kental warna dan unsur Bugis-Makassarnya. Dibuka dengan perbincangan Zainuddin (tokoh utama) dengan Mak Besse (pengasuh Zainuddin) dalam bahasa Bugis, membuat sedikit cekikikan penonton karena logat yang tak terlalu pas.
Juga tentunya surprise dari para penonton ABG yang tak mengetahui latar cerita roman/film yakni setting Makassar dan Padang. "Ih tawwa..." begitu terdengar. Saya berpikir, jika cerdas Pemprov Sulsel dan Pemkot Makassar bisa memanfaatkan trend film TKVDW untuk promosi dan pencitraan Sulsel dan Makassar. Laiknya film Laskar Pelangi yang telah mengangkat kota Belitung.
Film TKVDW sempurna mengharubirukan perasaan. Saya beberapa kali sembunyi-sembunyi menyeka air mata. Takut para ABG disamping menertawai.
Kami yang sudah pernah membaca kisahnya dalam buku roman karya Hamka, sedikit banyak bisa menghayati alur cerita film ini. Karena di bukunya lebih dahsyat dan detail menggambarkan kerumitan kisah percintaan tersebut. Romamtika percintaan generasi kami sedikit banyak diinspirasi dan terpengaruh dengan alur cerita dari buku seangkatan TKVDW.
Yang sedikit menganggu saya dari film ini yakni tak sempurnanya adegan sakitnya Zainuddin, hiruk pikuk menjelang tenggelamnya kapal dan wajah Hayati yang masih terlihat segar, bersih dan cantik padahal barusan ditemukan/diselamatkan dari kecelakaan kapal tersebut.
Hikmah dari film yang saya tonton sendiri ini (tanpa anak dan istri) saya semakin mencintai keluarga.Rasanya ada banyak Zainuddin dan Hayati di dunia nyata, teman, keluarga dan kerabat. Tak mendapatkan dan persis meraih cita-cita cintanya.
Bagi yang tengah gonjang-ganjing hubungan suami-istri atau hambar-hambar saja interaksinya karena kesibukan...coba deh suplemen cinta dan kasih sayang ini.
Bahwa betapa berat dan indah kala kita berjuang meraih dan menyatukan cinta dulu dan kita menjadi segelintir yang mampu menyatu dan membuahkan hasil cinta (keluarga dan anak-anak), rasanya aneh jika kini disia-siakan karena kesibukan dan dijerumuskan dalam tepi jurang pertikaian.
Luar biasanya saya ternyata memiliki bukunya. Sepulang dari nonton, saya coba-coba membongkar koleksi perpustakaan saya, ternyata saya memiliki buku roman itu, cetakan keenam tahun1961. Asli kertasnya sudah menguning dan rawan robek...
"Ayo deh pa... pi nonton lagi..." rengek istri.(Firmansyah Lafiri)