.

.

Sabtu, 16 November 2013

Jumatan di Masjid Kami Hampir Batal

Firibook, Sabtu (16/11/2013) -  Jumat kemarin, seperti biasa, kami menyelenggarakan shalat jumat di masjid kompleks. Shalat jumat di Masjid Nur Intan baru mulai kami pengurus sepakat gelar sejak Ramadhan lalu (tahun ini).

Sama seperti jumat-jumat sebelumnya...warga biasanya baru menuju masjid jika sudah berkumandang adzan. Sebabnya tentu yang paling utama karena jarak rumah dengan masjid ya hanya beberapa langkah. Namanya saja masjid di dalam kompleks perumahan.


Untuk mengakomodir kebiasaan malas bersegera ke masjid ini, kami menerapkan kebijakan adzan dua kali untuk shalat jumatan.


Yang tak biasa adalah jeda adzan pertama dan kedua untuk jumaatan kemarin yang lama. Ya..lama karena kami pengurus masjid menanti ustad yang akan menjadi khatib. Jam sudah lewat 12.30, kami pun mulai krasak-krusuk, deg-degan dan saling berbisik untuk mengatur skenario khatib pengganti.

Oh ya..sejak menyeleggarakan jumatan kami mendapat bantuan pasokan khatib dari Pesantren Hidayatullah dan Hizbul Tahrir. Sebagai masjid baru dan belum terdaftar tentunya kami belum masuk dalam list IMMIM untuk dijadwalkan penceramah/khatibnya.

Kepanikan kemarin karena seorang warga kami yang juga seorang ustad mendadak pulang kampung dan katanya sudah mendelegasikan penggantinya. Ustad pengganti itu yang tak kunjung datang.     

Sasaran utama selanjutnya yang akan ditunjuk menjadi khatib pengganti tentu para pengurus masjid. Di kebanyakan jumatan yang lewat, hanya segelintir pengurus yang rutin hadir.

Ya sebutlah hanya 3-5 pengurus. Seingat saya yang paling sering hanya 3 orang ( p Basri dan P Nurdin yunior) termasuk saya sebagai orang yang "berada" di kompleks, selalu berada di rumah/kompleks maksudnya kikikikikikkk...

Sebagai komplek perumahan yang mayoritas warga urban, penghuninya pegawai dan karyawan, membuat kompleks kami di siang hari sepi dan terbilang kosong dari bapak-bapak. Akibatnya para pengurus dan bapak-bapak warga jarang yang hadir berjamaah di masjid saat siang.

Buah dari kenekatan kami menyelenggarakan jumatan paling banter lima shaf jamaah jumatan yang mengikuti jumatan. Turut diramaikan oleh bapak-bapak kompleks tetangga.

Nah kami 3-5 pengurus (Pak Basri, Pak Nurdin, saya, Pak Ilham Mas Ismet) inilah yang harus menjadi khatib pengganti. Pak (sapaan akrab kami sih ustad) Basri yang selama ini mengambil peran mengumumkan kas keuangan dan agenda jumatan melirik ke saya. "Qta (Anda) mo yang maju p aji..." bisiknya.

Bisikan dan permintaan menakutkan itu datang juga. Karena memang pernah saya bayangkan permintaan itu pasti akan saya terima suatu saat.

Bagaimana tidak menakutkan, saat mengikuti mata kuliah Pesantren Kilat I-VI di Universitas Muslim Indonesia (UMI) saya termasuk salah seorang dari mayoritas mahasiswa UMI yang buruk nilai praktek khotbah. Hanya segelintir mahasiswa yang serius dan mampu menjalankan praktek khutbah itu, terutama yang memiliki latar sebagai santri atau berasal dari madrasah aliyah.

"Seriuslah nak...malu kalau Anda diketahui oleh masyarakat berasal dari UMI tapi tak bisa berkhutbah. Almamater UMI akan turut tercoreng," begitu warning dari dosen pesantren kilat kami dulu.

Pesantren Kilat merupakan mata kuliah wajib dan kebanggaan UMI selain tak dimiliki oleh kampus lain juga untuk mewujudkan diri sebagai kampus Islami. Tapi bagi kami mahasiswa menjadikan mata kuliah ogah-ogahan dan olok-olokan. Dan karma itu kemarin datang.

Dengan perasaan bercampur baur saya menolak dengan terus terang dan mengiba tentunya, agar jangan saya yang menjadi khatib pengganti. "Saya bisa menyampaikan materi khutbah (ceramah dan diskusi spiritual/Islam maksud saya) tapi tak tahu doa/bacaan pembuka, tengah dan penutup khutbah (plus tentunya lupa sama sekali rukun-rukun khutbah)," ujarku memelas.

"Doanya seperti doa usai shalat ji juga..," balas Pak Basri. Nah itu dia..doa usai shalat pun saya tidak bisa yang pakai bahasa Arab, paling yang lancar "rabana atina..." saja selebihnya menggunakan bahasa Indonesia.

Warning serupa soal kesiapan menjadi khatib juga pernah diutarakan rekan di Tanah Suci usai kami melengkapi seluruh ritual haji. "Kayaknya kita harus siap-siap ditunjuk menjadi khatib sekarang, na haji ma ki ini," begitu celoteh rekan serombongan travel 2010 lalu.

Pak Basri sendiri sebagai alumnus pesantren yang punya bekal bacaan sebagai khatib mengaku blank apa tema yang akan disampaikan.Ke Pak Nurdin yunior... hmmmm.... tentu tidak mungkin, untuk ceramah kultum saat Ramadhan lalu saja ia dengan sekuat tenaga menolak jadwal kultumnya dan menyogok pengurus dengan traktiran agar ia dicoret dari daftar warga kompleks pembawa kultum subuh itu.

Tiba-tiba Allah menurunkan petunjuknya di saat dan di detik menegangkan itu. Eurekaa...masih ada Mas Ismet. Beliau pernah menjadi penyelamat kami di saat peringatan Isra Mi'raj yang lalu, tak ada qori. Dan dengan ketenangannya beliau maju membacakan ayat al Quran saat itu.

Kali ini Mas Ismet harus kembali menjadi penyelamat. Saat saya memintanya dengan berbisik, beliau menolak. Tak habis akal Pak Basri turut merayu. Mas Ismet mau.......      

Alhamdulillah...agenda shalat jumat kami tak jadi bubar.

Saya jadi ingat cerita bubar dan batalnya shalat jumat karena tak ada khatib pernah menjadi berita headline di Tribun Timur beberapa tahun lalu.

Kejadiannya di salah satu masjid di daerah Sudiang Makassar. Kebetulan seorang lay outer Tribun merupakan warga dan jamaah jumatan yang batal itu. Ia bercerita di redaksi dengan terkekeh-kekeh bercampur malu dan miris. Dan kami di rapat redaksi memutuskan sebagai berita HL karena sebagai tragedi dan kejadian luar biasa.

Heboh...hingga pihak MUI, rektor IAIN (UIN) Alauddin maupun aktivis Islam Sulsel Aswar Hasan menanggapi serius. Intinya berita dari peristiwa itu telah terjadi krisis khatib di Makassar. Karena terungkap pula, bahwa masjid di sekitar kampus UIN saja kebingungan mendapatkan khatib jumatan padahal bersebelahan tembok dengan pabrik penghasil intelektual muslim dan dai tersebut.

Selama dua hari ini, aksi penyelamatan oleh Mas Ismet itu betul-betul menjadi tranding topic pembicaraan bapak-bapak komplek Griya Intan Lestari Daya dan jamaah masjid kami.

Dan tadi...usai shalat magrib kami sepakat untuk segera laksanakan kursus khutbah bagi pengurus dan membeli/menyiapkan buku kumpulan khutbah, yang paling penting bacaan pembuka dan penutup khutbah, untuk siap dibacakan oleh pengurus dan jamaah jika tak ada lagi khatib jumat.... (@firlafiri)