SUNGGUH...menjadi seorang jurnalis tidak ada dalam daftar cita-citaku. Apalagi sebagai seorang anak kampung/desa paling biasa cita-cita menjadi seorang pilot, dokter, polisi, tentara, dan guru.
Sama sekali bapak dan ibu tak memberikan pengetahuan ada sebuah profesi yang bernama wartawan.
Sejak SD cita-citaku menggebu2 menjadi seorang dokter, makanya aku cukup jago biologi, hafalan pelajaran soal carnivoran, herbivora, metamorfosis katak hingga gen dan kromosom saat SMA ku hafal di luar kepala.
Hingga kemudian saat SPMB aku pilih fakultas kedokteran. Nekad memang, kepintaran pas-pasan saat SMA dan belum pernah ikut bimbingan belajar sok memilih kedokteran. ya sekadar gambling begitu. Dan dua kali pula ikut SPMB-nya.
Gak begitu kecewa sih..lagian kapasitasnya udah disadarin kok dari awal. Tapi saat aku SD hingga SMP aku tergolong pintar kok di sekolah kalau gak juara 1 ya juara 2 tiap caturwulannya/semester.
karena prestasi ini pun aku dan keluarga cukup percaya diri dengan cita-cita. Walau ternyata aku sebenarnya tak jago di soal hitung-hitungan tapi jago untuk hafalan dan ilmu non eksakta.
Dan yang sungguh tak kusadari aku memiliki minat besar di soal pelajaran Bahasa Indonesia, malah di saat kelas 4 SD aku pernah meraih nilai 10 sempurna untuk pelajaran Bahasa Indonesia.
Dan ternyata pula hobi dan talentaku menulis ala jurnalis sebenarnya telah ditempa oleh bapak dari kecil. Hobi bapak membaca koran telah membiasakanku pula untuk memahami bahasa koran dan mulai tergila-gila dengan membaca maupun mengoleksi buku.
Kalau tak salah bapaku merupakan satu-satunya pelanggan koran dan tabloid di desaku saat itu. Harian Jawa Pos dan Tabloid Olahraga Tribun menjadi menu bacaan bapak dan aku pun tanpa disuruh2 sering menunggu kedatangan pengantar tiap sore jelang magrib.
Pernah suatu hari papaku (panggilan kami sehari2) terkagum2 dengan sebuah karanganku yang menulis pemandangan desaku.
Papaku juga begitu membanggakan aku soal hobiku membaca bukudi perpustakaan SDku SD Dena II saat itu. Yang menakjubkan seratusan buku koleksi perpustakaan koleksi SDku ternyata aku habis lahab dan telah memenuhi lemari buku di rumah. Itu baru kami sadari saat bersih-bersih rumah, banyak buku yang aku pinjam belum aku kembalika ke perpustakaan sekolah. Lagi pula aku mendapatkan kemudahan untuk meminjam dan mebawa pulang karena bapak kepala sekolahnya.
Hal-hal inilahternyata menjadi momentum yang tak kusadari akan keberadaan talentaku untuk menjadi seorang jurnalis.
Hingga suatu ketika ketika aku numpang gaul di sekertariat Unit Penerbitan Penulisan Mahasiswa (UPPM) UMI Makassar aku membaca buku "Seandainya Aku Wartawan Tempo" buka yang begitu lugas memaparkan teori penulisan dan ternyata aku sudah biasa menulisnya dalam catatan harianku.