.

.

Sabtu, 17 April 2010

Setelah 16 Thn, Akhirnya Ada yang Menemaniku Mandi Hujan

MANDI hujan beramai-ramai adalah kebiasaan kami di Bima. Mungkin karena tingkat curah hujannya yang sangat rendah sehingga ketika hujan tiba/turun disambut dengan suka cita dengan bermandi bersama-sama.

Dari anak-anak balita, remaja hingga tua. Begitupun yang sehat dan kurang enak badan pun rasanya tak mau ketinggalan menikmati bersama guyuran air hujan.


Ndeu ura, begitu kami menyebut mandi hujan. Ndeu ura menjadi ajang bersilaturahmi, berpacaran, olah raga, dan unjuk diri, dan lainnya. Termasuk mengisi acara ndeu ura dengan menikmati bersama ubi bakar dan jagung goreng.

Dengan kebiasaan ini maka hal yang biasa jika di ruas-ruas jalan utama hingga lorong-lorong ramai pria dan wanita mandi hujan.

Pokoknya kebiasaan ndeu ura menjadi kebiasaan dan hobi yang mendarah daging bagi kebanyaka masyarakat Bima.

Ketika aku merantau untuk menuai pendidikan di Makassar 1994 lalu, kebiasaan ini harus aku pendam dan tadi siang baru aku bisa lakoni kembali dan ada yang menemaniku, anakku, Adwa'mantika CF. Mengapa begitu lama, 16 tahun loh...?

Ceritanya begini...saat itu aku baru datang dari Bima dan numpang tinggal di kost-kosannya kakakku di Jl Kumala II. Suatu siang hujan lebat mengguyur Makassar, saat itu masih bernama Ujung Pandang.

Dan spontan, tanpa diperintah..kebiasaan mandi hujan itu harus disalurkan. Pakaian dibuka dan diganti dengan celana pendek tak memakai baju aku lari keluar rumah dan menikmati guyuran hjan itu.

Depan rumah berpindah dengan berlari-lari kecil ke depan lorong dan Jl kumala II, masih keasyikan dilanjut berlari-lari ke Jl Kumala, Ratulangi, Jl Sudirman, dan karebosi.

Dari sini aku baru tersadar..ternyata sedari tadi (sejam lalu) aku hanya sendirian berlari mandi hujan bertelanjang dada melintasi jalan utama Makassar. Dan sampai di karebosi alun-alun Makassar yang ternyata sangat kurang orang yang main bola hujan-hujan. Padahal hujan saat itu cukup lebat dan mengasyikan.

Hujan mengasyikan untuk mandi anggapan kami jika mampu membuat genangan di jalan-jalan dan kami pun bisa main siram-siram dan memercikkan ke rekan dengan menendang air genangan itu.

Mengasyikan juga jika air hujan itu bisa membuat basah kuyup baju para gadis-gadis dan kami bisa mengintip lekukan tubuh, pantat, dada dan tali bra mereka. Maaf..saya kira ini kebiasaan umum remaja pria hehehe....

Lebih mengasyikan lagi jika hujan bisa membuat pancuran air mengalir desar airnya hingga kami bisa melakukan hydro terapi hehehe..pijatan oleh air di punggung kami.

Samapai dimana tadi..? Ya saya sudah berada di Karebosi dan hujan pun mulai mereda. Berarti harus pulang dong. Lah..saya sendiri, bertelanjang dada berada di pusat kota Makassar.

Padahal saat di Bima, kaau hujan reda maka kami pulang berjalan secara ramai-ramai sembari bercengkrama. Di sini, Makassar, mandi-mandi sendiri, eh pulang berjalan sendiri pula...dan pasti dong menjadi tontonan. Setiap orang di atas pete-pete (bemo) saya rasa melihatku dengan keanehan. Aku malu....

Sejak hari itulah aku tersadar, hujan bagi orang Makassar (Sulawesi) bukan sesuatu momen istimewa, tak perlu ada mandi-mandi hujan orang sekampung.. Dan tak akan mengulangi lagi kekonyolan itu.

Dan tadi siang, dengan kegembiraan aku mandi hujan, berlari bolak-balik di jalanan lorongku. Anakku, Adwa (3,5 tahun) menemaniku..aku tak sendiri lagi mandi hujan dan bergembira....dan moga ia tak sakit aja besok...