Rabu, 02 Oktober 2013
Wisudaku, Ironi Sebuah Kebanggaan
Firibook, Rabu 2/10 - Seumur-umur baru hari ini lagi saya hadir di sebuah perhelatan akbar dan membanggakan bagi mahasiswa, sebuah wisuda. Keluarga dari kampung (Guru Teo Kala sekeluarga) hadir dalam wisuda putrinya (Suci) di Poltekes Makassar.
Terakhir acara wisuda yang saya hadiri ya.. saat saya diwisuda 2004 lalu, untuk dikukuhkan sebagai sarjana Teknik Kimia, wehhh...canggih nian bukan. Sebelumnya wisuda kakak ipar di 1994. Ya... periodenya ternyata hampir tiap 10 tahunan saya hadir di perhelatan itu.
Suasana kebahagiaan bagi para wisudawan/wati, haru bagi para orang tua, dan bangga bagi para keluarga lain hingga kegembiraan bagi para anak-anak (bisa belanja mainan banyak...) jelas tergambar di arena wisuda tersebut.
Saya sendiri sempat berkaca-kaca menyaksikan seorang ibu menangis terisak-isak saat dipeluk oleh anak gadisnya usai diwisuda. Setelah sekarang menjadi orang tua sungguh saya sudah bisa merasakan nuansa melankolis untuk hal-hal beginian. Lah saya yang seorang bapak di hari pertama mengantar anak masuk SD saja tak kuasa membendung air mata. Gimana dengan ibu-ibu, dan diwisuda pula anaknya.
Nah kebetulan lagi nulis soal tema wisuda. Inilah cerita tentang wisuda saya. Saya menyebut sebagai ironi sebuah kebanggaan dan kebanggaan yang kedaluarsa. Sadis ya....?? Memang dramatis ini cerita hahahiiii.....
Wisuda yang saya jalani setelah menjadi mahasiswa (tidak menjalani kuliah dengan baik) selama 10 tahun di Fakultas Teknologi Industri Jurusan Teknik Kimia UMI. Jika kebanyakan mahasiswa benaran menjalani kuliah selama 3-5 tahun saya dan beberapa gelintir mahasiswa menjalani 10-an tahun. Ya mapala/mahasiswa paling lama.
Soal kenapa bisa sampai 10 tahun baru diwisuda...tunggu postingan selanjutnya, masih menunggu momentnya untuk ditulis.
Wisuda yang saya jalani ibarat momentum yang telah lewat/usai. Sehingga nuansa bangga, haru, gembira tak lagi cukup kental terasa. Mendengar saya "sukses" menyudahi...(mhhh tepatnya disudahi kuliahnya hhahhaa...) saya meyakini kedua orang tua dan keluarga tak sebegitu gembira lagi.
Karena kegembiraan itu harusnya di lima dan tujuh tahun sebelumnya mereka nikmati. Yah akhirnya tidak ada orang tua mendampingi. Hanya ada adik bungsu dan istri (saat itu masih jadi pacar), dan segelintir yunior di komunitas UPPM UMI yang hadir dan mengolok-ngolok.
Saya sendiri menghadiri wisuda acuh tak acuh sama sekali tak ada lagi rasa bangga membuncah di dada seperti mahasiswa-mahasiswi lain yang duduk di samping kiri dan kananku saat itu. Hambar.
Yang seru cuman pesta syukuran kecil-kecil yang dipaksakan oleh komunitas yang lapar dengan melahap Jalangkote made in Pampang/kelurahan kumuh di belakang kampus, yang rasanya entah apa judulnya kikikikkk...
Foto dokumentasi pribadiku pun tak ada untuk momen spesial itu. Yang dari humas kampus pun tak ku pegang di ambil oleh ibu untuk dipajang di ruang tamu rumah kami.
Saat diwisuda, saya memang sudah berstatus sebagai redaktur ekonomi di Harian Ujungpandang Ekspres (Fajar Group/JPNN). Jadi rasa butuh gak butuh begitu sama wisuda. Rengeaan ibulah yang mengharuskan saya untuk mengurus dan menyelesaikan kuliah.
Selain itu tentunya doktrin dan paham baru soal pendidikan sebagai pembodohan (hasil adopsi dari referensi kiri) melalui pergulatan pemikiran di komunitas UPPM juga sukses membuat saya mendesakralisasi prosesi wisuda.Olok-olok kami saat itu menyebut wisuda sebagai ajang pengukuhan atas status baru sebagai pengangguran intelek.
Hingga menyebut prosesi wisuda sebagai upacara kesyirikan dan menyerupai kekafiran (hasil adopsi dari referensi kanan) karena berakar dari ritual Romawi. Inilah kecanggihan hasil diskusi kami saat itu agar sedemikian rupa tak ingin diwisuda (karena malas kuliah hahahahh...)
Topi wisuda dan toga tidaklah termasuk pakaian kaum muslimin bahkan termasuk pakaian khas orang-orang kafir. Ancaman keras Allah dalam perbuatan menyerupai orang kafir dalam hal yang menjadi ciri khas mereka.
Diriwayatkan oleh Tirmidzi dengan sanad yang berkualitas hasan dari Abdullah bin Amr bin al ‘Ash, Rasulullah bersabda, “Bukanlah umatku seorang yang menyerupai selain kami. Janganlah kalian menyerupai Yahudi ataupun Nasrani.....”.
Untuk itu kami saat itu mengutip pula hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang menyerupai sekelompok orang maka dia adalah bagian dari mereka”. Hmmmmm.....dasar mahasiswa kebanyakan berdiskusi.(*)
