.

.

Sabtu, 19 Oktober 2013

Istri Terguyur Air Panas

Firibook, Sabtu (19/10) - Pagi tadi, kami sekeluarga dikejutkan oleh jerit mama/istri dari arah dapur. Sesaat setelah meninggalkan kami bertiga (saya dan dua putri) di kamar usai bersendagurau dan bermain-main di tempat tidur seperti biasa di kala pagi.

Awalnya jerita istri terdengar biasa bagi saya karena itu seperti jeritannya ketika ada cicak, kecoa, dan anak kucing di depannya. Namun bunyi panci  diserta bunyi gedebuk lantai membuat jeritan itu menjadi tak biasa.

Kami pun berhamburan ke dapur. Pemandangan dramatis terhampar, ruangan dapur penuh dengan uap panas dan istri berjalan sempoyongan keluar dengan baju basah beserta uap panas menyelubunginya.


Rupanya mama barusan tergelincir di lantai dapur lalu terguyur satu panci besar air (minum) panas mendidih. Saya merangkulnya dan beberapa helai kulit melengket di telapak tangan.

Anak-anak menjerit, "Tidak mau ka mama mati.." jerit si sulung Adwa'. Bungsu Ai lari ketakutakn ke dalam kamar. Istri dengan kesadarannya menyuruh mengguyurnya dengan air di kamar mandi.

Dibantu oleh tante Asni (nenek bungsu/adik ibu mertua) yang tinggal di rumah mengguyurnya dengan air. Kulit tangan kanan sudah melepuh. Dua telapak tangan mama menebal dan memanas. Separuh kulit punggung mulai menggelembung.

Saya lalu diminta istri ke apotik membeli salep bioplasenton. Salep untuk meringankan luka bakar.

Padahal pagi tadi, istri rencana hadir mengikuti baksosnya para dokter keluarga di salah satu kelurahan pesisir Makassar, live di Metro TV lagi... Sedangkan saya pagi tadi juga berniat menghadiri undangan forum diskusi pengurus Indonesia Islamic Business Forum (IIBF) Sulsel di Grha Pena. Batal.

Gejala shock akibat penguapan berlebihan di kulit mulai terlihat antara lain dengan indikasi kaki mulai dingin. Istri meminta diantarkan ke IGD RS Regional Wahiddin. Alhamdulillah rumah dekat dengan 3 rumah sakit besar di Makassar (Wahidin, Daya dan RS Tajuddin/eks RS kusta).

Kepanikan saat insiden yang tak diketahui para tetangga itu membuat saya lupa melakukan beberapa tips yang biasa dibaca di broadcash BB. Diantaranya mencelupkan luka bakar pada tepung. Konon bagus sebagai tindakan awal membatasi meluasnya luka bakar.

Saya juga punya sih baca-baca warisan kakek buyut katanya untuk mengeluarkan panas..tapi kudung sudah bertekad untuk tak lagi mengamalkannya.

Inilah kejadian yang membuat istri untuk pertama kalinya masuk IGD/UGD dengan status sebagai pasien, pertama kali pula diinfus, pertama kali pula diopname.

Sebagai dokter, relatif menurut saya istri mendapatkan pelayanan "privat" dari rekan sejawatnya. Datang menyapa. Tapi ternyata saya pun baru sadar, menurut rekannya yang lain, tindakan yang dilakukan dokter jaga keterlaluan teladnya.

Masuk IGD pukul 8 pagi tapi hingga jelang 12 siang tidak ada penanganan medis yang signifikan. Akibatnya tingkat dan luasan luka bakar bertambah. Harusnya ada krim yang segera dioleskan. Tapi hanya kain kassa basah yang dikompreskan dan dipakai membungkus luka. Hmmm....

Saudara-saudara...pasien ini, seorang pasien berstatus dokter. Bagaimana dengan masyarakat awam yang tak memiliki "fasilitas" pertemanan dengan dokter dan tak memiliki pemahaman soal medis dan kedokteran ??

Ya...tepat di samping istri ada pasien dari kampung katanya masuk IGD dari jam 11 malam tadi tapi dibiarkan tanpa penanganan medis yang optimal. Hanya bolak-balik diwawancarai dokter muda/coash yang tak habis-habisnya dan berganti-ganti. Tanya ini dan itu....

Cerita soal lemahnya pelayanan RS katanya tengah mempersiapkan menuju pelayanan kelas dunia ini ternyata bukan sekadar isapan jempol dan bualan di kala senggang warga dan tetangga di emperan masjid.

Saya dan keluarga akhirnya merasakan....

Untuk sedikit memahami kewalahannya para dokter yang berstatus sedang belajar itu (coash dan residen), di IGD siang tadi bak pasar, pasien masuk sambung menyambung. Lagi pula tidak ada saya lihat dokter senior berjaga. "Memang tidak ada pa..biasanya by phone kalau ada kejadian/kasus luar biasa," jelas istri di sela menunggu pelayanan medisnya.
 
Hikmah
Seperti biasa kami berusaha menelisik hikmah dan pelajaran dari kejadian yang layak disebut musibah ini. Istri meminta maaf kepada saya suaminya. "Mungkin ada dosa ku pa sama qta..," ucapnya lirih. Sedangkan saya beristigfar atas kedholiman kami sekeluarga yang berbuah teguran ini.

Ya..ketika ban mobil kami kempes atau bodinya tercoret, branteman, anak rewel, dan musibah ini hari, saya memastikan semuanya sebagai istijrat, siksaan Allah yang diangsur sebagai balasan dan hukuman entah atas dosa dan kemaksiatan yang mana yang telah kami perbuat.

Atau ada kelalaian ibadah dan ketaqwaan yang tak kami tunaikan.

"Bersyukur ma, luka bakarnya hanya 20 persen, ndak seluruh tubuh. Kondisi mama stabil. Anak-anak tidak kena (seandainya juga meraka ada di dapur ya..ampun)," ucapku.

Dan paling penting, mulai hari ini dengan kekuasaan/otoritas dan hak proregatif saya sebagai kepala rumah tangga, saya memutuskan tidak ada lagi acara masak-masak air minum di rumah.

Lagian selama ini saya sudah sering kali protes. "Ma air minum galon isi ulang kayaknya layak dikonsumsi langsung, ndak usah dimasak lagi," protesku. Saya di kampung, untuk menghilangkan sedikit dahaga saat di sawah, biasa langsung menyeruput dan meminum air dari genangan bekas telapak kaki sapi dan kerbau. jelasku sedikit mendramatisir.

"Weaaaagkkhh...papa mo yang minum air tanpa dimasak," timpal istri. Iya sih...itu cerita saat kecil dikampung, rasanya perutku pun kini sudah jadi perut kota yang sensitif.

Udah..besok beli filter air Pureit. Air galon gak perlu dimasak jernih dan murnikan dengan peralatan yang diiklannya menyebut telah lolos uji di IPB itu.(@firlafiri)