.

.

Rabu, 11 September 2013

Semua Mampu kok...Berhaji

The Magic Power of Haji (5) 

FIRIBOOK - Sekumpulan bapak2 jamaah tetap Masjid (di kompleks kami) Nur Intan mendiskusikan seputar rukun iman menunaikan haji, awal pekan ini. Salah satu sub temanya (ciee...) menghajikan kedua orang tua.

Hmmm..tema diskusi yang selalu semangat ku ikuti. Ya..semangat khas kebanyakan mantan jamaah haji/umrah yakni semangat untuk menyemangati keluarga dan teman untuk segera pula menunaikan haji dan mengunjungi masjidil haram, serta semangat untuk kembali dan kembali ke Tanah Suci.



Diskusi di sela shalat magrib dan isya itu tentunya cukup menarik mengingat musim haji hampir dekat. Menurut saya perintah haji teramat penting untuk ditunaikan dan menjadi perhatian bagi kita ummat Muslim. Namun dengan embel-embel bahwa haji "hanya bagi yang mampu" seakan telah menjadi pembenaran bagi kita untuk mengkondisikan diri dan mentalitas untuk "menjadi tak mampu".


Mampu dalam pengertian ini tentunya mampu secara finansial, kesehatan, hingga mampu dari aspek ketakwaan dan psikologisnya.

Misalnya saja, kita dengan entengnya mengatakan belum mampu finansial padahal kita telah membeli dan memiliki mobil berharga minimal Rp 100 juta (biaya haji reguler Rp 35-45 juta, ONH plus Rp 70 juta), memiliki 2-3 rumah, sudah sering berwisata ke luar negeri (paling dekat Singapura dan Malaysia dengan biaya Rp 20 juta, padahal umrah Rp 15 juta sudah bisa tuh...). Sudah menjadi sarjana eh..masih ingin lagi untuk raih Magister dan doktor dengan biaya paling sedikit Rp 30 juta.

Pantas Agus Mustofa dalam bukunya "Berhaji Tanpa Haji" menuding kita telah menjadikan rukun iman Berhaji sebagai rukun kedelapan, setelah rukun mobil, rukun rumah kedua dan rukun magister telah ditunaikan. Ah bisa aja ustad tasawuf modern itu... Jadi sebenarnya kita semua mampu kok berhaji, berumrah. Hanya saja kita melalaikan dan tidak menjadi mimpi dan tujuan saat ini tapi nanti kelak jika sudah ujur dan paripurna ketakwaan.

Sungguh menurut saya taklah mungkin Allah menurunkan perintah (yang utama lagi dalam syarat keimanan dan keislaman seseorang) yang tak bisa dan mampu dilakukan oleh ummatnya. Terkait ketakwaan yang menuntut untuk disempurnakan terlebih dahulu sebelum berhaji, saya memiliki pemahaman yang berbeda.

Menurut saya, kita tak perlu menunggu ketaqwaan dan ibadah lain telah ditunaikan karena mambrurnya haji tak dinilai sebelum berhaji tapi setelahnya. Yah jika usai berhaji kita berupaya sempurna shalat 5 waktunya, zakat ditunaikan, puasa Ramadhan komplit dengan ibadah pendukungnya..maka insyallah itu tanda2 mambrurnya haji kita. wallahuallam..(@firlafiri)