Memang hampir saya pribadi melupakan beberapa jargon "pemberontakan" dan kemerdekaan Komunitas Sao Kareba UPPM UMI itu. Diantaranya juga "Dilarang Melarang", "Haram Komunitas menjadi PNS" (sudah banyak mi kak..sekarang, timpal seorang komunitas muda), "Dilarang Memanggil dengan Sapaan Kakak (ups..tuh ada kak) de el el... Tradisi otokkritik di setiap miladnya.
Hingga "Dilarang berpacaran sesama komunitas" (Saya yang termasuk melanggarnya karena memacari dan menikahi bendahara UPPM, lalu melahirkan anak bernama Cakrawala/nama tabloid terbitan UPPM kikikiki...) Ah..sangat tak sesuai dengan pakem umum tradisi komunitas ini.
Yang paling bikin gerah para birokrat rektorat kampus hijau kampus Islami itu yakni segala idiologi terlarang dianut dan didiskusikan oleh para komunitas. Pematangan mental dan pemikiran kilah kami saat itu jika ditegur dan acap diancam pembubaran. Hasilnya sih..memang terlihat dari beberapa alumni/tetua komunitas.
Sekadar menyebut di antaranya mantan jubir IA dan caleg DPRD Sulsel Partai Demokrat Selle Ks Dalle, anggota KPU Sulsel Ana Rusli dan Cenceng, Asisten Wakil Rektor UMI Zakir Sabara H Wata, Asisten Aziz Qahhar Mudjakkar/pengurus Hidayatullah Irfan Yahya, Koordinator FIK Ornop Sulsel M Asram Jaya, Pimpred Majalah Inspirasi Usaha Sultan Makkawaru, Pimpred Radar Selatan (Fajar Group) Sunarti Sain. Dan banyak lagi..(maaf ya yang gak kesebut...karena tulisan ini saya maksudkan bukan ingin bercerita tentang ini, tapi soal "Memilih Hidup Tidak di Bawah Telunjuk Orang")
Nah...kembali soal ungkapan Memilih Hidup Tidak di Bawah Telunjuk Orang. Rupanya ungkapan ini yang tampa sadar telah melekat dan tertanam di bawah sadar. Sehingga tak begitu sulit bagi saya untuk memutuskan pada 2011 lalu untuk "memajukan diri", pensiun muda dan tobat profesi lebih dini dari zona nyaman sebagai seorang jurnalis, seorang karyawan.
Ketika Fahrul mengingatkan lagi komitmen dan ungkapan itu tadi siang saya termasuk yang merasa gak disinggung, plong dah.... Kini saya tak lagi punya bos, tak ada lagi yang menargetkan dan memarahi soal pekerjaan, gak ada lagi rutinitas mekanik berkantor, gak ada lagi keluhan soal gaji dan honor (kan gak lagi bergaji..), gak ada lagi sikut-sikutan dan politik kantor yang melelahkan untuk karir dan perhatian bos, gak perlu lagi tersungut-sungut menghadiri rapat dan memenuhi panggilan pimpinan.
Ah...inilah kemerdekaan dan kebebasan itu. Beberapa kali pernah sih tergoda untuk kembali menjadi karyawan. Untungnya saya tidak punya ijazah sebagai syarat melamar kerjaan. Pasalnya Ijazah sarjana Teknik Kimia ku di UMI belum juga sempat ku ambil (kira-kira masih ada gak yah ?). Selain tak punya ijazah, godaan-godaan untuk menjadi karyawan itu juga tertolak dikala membayangkan ketergesa-gesaan tiap pagi menembus kemacetan menuju kantor.
Udah ah cukup untuk zona nyaman, saya memilih zona kebebasan, cukup ah berpenghasilan tetap saya memilih tetap berpenghasilan, cukup di quadran employ saatnya untuk mencoba quadran akhirat dengan Allah sebagai maha bos, rapat dengaNya kini dengan suka cita tiap lima kali sehari (hmmmm....masih ingat makian jika telad hadiri rapat).
Memilih hidup dengan skenario sendiri, bukan dengan skenario orang lain. M..e...r..d..e..k..a.....heheh