.

.

Sabtu, 21 September 2013

Masalah Keluarga Kota, Sulitnya Penjaga Anak

FIRIBOOK - Usai shalat dhuhur tadi di Masjid Nur Intan, biasa dilanjutkan bincang-bincang ala bapak2. Topik yang mengemuka soal sulitnya mencari penjaga anak.

Ada empat lima bapak komplek terlibat dalam bincang itu dan semua ternyata seragam dengan masalah dan kasus yang sama sebagai suami-istri yang dua-duanya bekerja di luar rumah, sebagai pegawai (PNS) dan karyawan (swasta).


Sebenarnya saya juga termasuk memiliki masalah khas keluarga kota itu. Tapi belakangan dalam dua bulan terakhir ini sudah teratasi, Alhamdulillah...yah. Terselesaikan setelah nenek bungsu (adik bungsu dari almarhum ibu mertua) dari anak-anak kami bersedia tinggal di rumah.

Bukan saja anak kami Adwa' dan Ai yang kini ada yang mengurusnya di rumah saat ibunya kerja, saya pun keciprat terurus. Makanan hangat dan khas rumahan kembali bisa dinikmati tiap hari

Memiliki istri PNS yang saban pagi harus terburu-buru ke kantor otomatis membuat kami lebih banyak menikmati makanan warung dan makanan instan. Paling tiap akhir pekan, Sabtu-Minggu istri bisa leluasa memasakan kami segelintir menu makanan andalannya.

Mulai agak longgar jeratan masalah terutama ketika saya memutuskan resign dan bekerja di rumah sejak 2011 lalu. Walau sih...belum teratasi-teratasi banget karena saat itu kami masih menitipkan anak di tempat penitipan anak.

Ini cerita saya, bagaimana dengan bapak-bapak yang lain ?

"Ini masalah serius...pak Aji, karena kita hadapi tiap hari dan akan berlangsung bertahun-tahun ke depan," tutur seorang bapak yang memiliki tiga anak, tertua baru 3 tahun. Pasalnya neneknya sudah tak tega lagi dititipkan anak, penjaga anak dengan honor terjangkau sangat sulit didapat. Kalau pun ada, rasa was-was terus menghantui, terutama dengan cerita dan berita penculikan dan penyiksaan anak.

Yang mengerikan (karena saya merasa tak akan mampu melakukannya) yakni mengirimkan anak untuk diasuh oleh keluarga atau tinggal dengan neneknya di kampung. Saking seriusnya masalah ini seorang bapak lain bertutur, untuk urusan ini harus mendawamkan doa rutin khusus untuk mendapatkan penjaga anak yang sesuai dengan kriterianya.
 
Solusi terbaik dari beberapa solusi kurang baik bagi anak dari masalah ini (karena yang terbaik tentunya dijaga oleh orang tuanya terutama ibunya, dan berhenti jadi pegawai dan karyawan) tentunya saya usulkan untuk menitipkan anak di penitipan profesional dan terpercaya (seperti yang pernah kami lakukan) atau mencarikan penjaga anak dan menyertakan keluarga untuk mengawasi di rumah.

Mengapa harus dijaga oleh orang tuanya (ibu terutama) sebagai yang terbaik. Menurut pakar psikologi anak Ely Rahman usia anak di bawah 7 atau 10 tahun wajib ibunya selalu ada di dekat anak. Jika tidak menurutnya akan ada bab atau halaman ibu/bapak yang hilang dari catatan harian jiwa si anak.

Realitas inilah katanya pada seminar pengasuhan anak di Bosowa Februari lalu, yang memicu kenakalan remaja, narkoba, seks bebas anak-anak saat ini. Nauzubillah.... Benarlah apa yang menjadi sunah (kalau gak salah), kurang lebih intinya merekomendasikan istri lebih baik di rumah atau bekerja di rumah saja.  

Istri saya sendiri (yang terlanjur menjadi PNS) memutuskan untuk tidak ngoyo mengejar karir dan uang. "Biarlah saya jadi dokter di puskesmas saja di pa...agar ada waktu ku untuk anak-anak. Papa mo yang cari uang nah," pintanya suatu hari.

Ini pula yang menjadi alasanya menolak ketika bergulir provokasi rekannya untuk menduduki jabatan struktural, membuka praktik, melanjutkan study sebagai spesialis, atau pindah tugas ke rumah sakit dengan berbagai tunjangan menggiurkan.
  
Fakta-fakta ini pula yang menjadi alasan saya ketika ada seorang kawan muda meminta nasihat kriteria seorang calon istri baginya. Dengan tegas saya menjawab "Cari calon istri yang bukan pegawai atau karyawan yang bekerja dari jam 8 pagi hingga jam 3-4 sore."

"Tapi tidak cukup bos kalau kita sendiri saja yang bekerja," timpalnya.Yah kita memang sudah terbiasa memprasangkai Allah terutama soal rejeki bagi keluarga, lalu konsumeristik dan kemewahan sebagai simbol keluarga sukses pun hal lain yang menjadi pemicu istri bekerja di luar rumah, selain tentunya gelombang wacana emansipasi itu.

Wallahuallam...