The Magic Power of Haji (3)
INILAH pengakuan saya. Ya saya sungguh-sungguh mengakui sebelum pergi haji saya merasa tergolong orang yang disebut sebagai kelompok orang munafik.
Lah iya, dalam sebuah referensi pernah saya membaca ciri-ciri orang munafik itu adalah shalat Isya dan Subuhnya jarang atau susah ia tunaikan. Itu telah saya ketahui namun tetap dilakukan.
Its me, tentunya tak penting saya utarakan alasan kenapa saya susah utk menunaikan shalat isya dan malas bangun pagi melaksanakan shalat subuh.
Sedangkan untuk shalat wajib yang lain juga sering dan dengan mudah ditinggalkan atau biasanya tergesa-gesa saya laksanakan. Apalagi boro-boro untuk melaksanakan berbagai jenis shalat sunat, ih nggak bangeetss deh gerah kek, ndak konsentrasilah dijadikan alasan untuk tak menunaikan shalat sunat tersebut.
Rasanya sebagian dari Anda perlu mengakui kebiasaan-kebiasaan buruk ini. Ayo ngaku pakai bisik-bisikan juga gak apa-apa saya gak bakal bocorkan kok rahasianya he he ..
Lalu anehnya sepulang dari haji bisa berubah 180 derajat. Shalat diusahakan selalu ingin berjamaah di masjid dan diawal waktu, segala shalat sunat mulai dari sunat thahiyatul masjid hingga sunat setelah shalat wajib rasanya rugi kalau tak dilaksanakan. Demikian pula untuk sunat tahajud maupun dhuha makin sering dilakukan.
Dan itu terasa ringan, mudah dan tak perlu tergesa-gesa. Gumamku, "Kenapa harus tunggu setelah berhaji dulu baru semua ibadah itu mudah dan menyenangkan dilakukan."
Pendapat yang menyenangkan menganggap itu sebagai tanda-tanda mambrurnya haji. Bahwa ada perubahan yang lebih baik dalam beribadah dan kehidupan keseharian, lahir dan bathin.
Namun jika dirasionalkan dengan tafsir yang lebih ilmiah bahwa perubahan itu antara lain karena sugesti haji. Rugi dong telah mengeluarkan biaya puluhan hingga seratusan juta rupiah jika tak ada perubahan yang berarti.
Percuma dong pengorbanan dan pembiasaan/latihan melakoni berbagai ritual ibadah di tanah suci jika tidak dilanjutkan dilakukan di tanah air.
Malu dong kepada Allah dan orang sekampung yang telah mengetahui kita baru pulang dari haji tapi ibadah shalatnya masih malas-malasan seperti dulu.
Ntar hanya akan menjadi gaya dan gengsi semata dong...dengan mengenakan kopiah dan menggunkan gelar haji di depan nama jika ibadah dan perbuatan baik tak lebih meningkat dibanding waktu-waktu sebelumnya
Aha saya jadi berpikir ternyata ada baiknya juga jika biaya haji tetap tinggi dan budaya masyarakat Indonesia menambahkan H sebagai gelar haji di depan namanya.
Karena di biaya tinggi itu situ ada perjuangan untuk pencapaian bukankah pencapaian dengan segala perjuangan lebih berarti dan bermakna. Pada gelar H ada peringatan dan motivasi.
Saya punya cerita yang sering saya utarakan kepada keluarga untuk memotivasi mereka. Sebelum berhaji saya sangat malas pergi shalat berjamaah di masjid dekat rumah gara-gara harus melewati rumah tetangga yang memiliki anjing yang sangat galak setidaknya dari gonggongannya.
Lalu setelah pulang dari haji dengan entengnya saya melangkahkan kaki ke masjid dan kepada anjing yang menggonggongiku aku pun menyapanya "Ndak usah lagi menggonggongi saya karena gonggongan mu itu tak seberapa menakutkan ketimbang upaya dan kepasrahan saya meninggalkan dua anak yang masih balita dan beratus juta nilai aset dan harta yang saya tinggalkan saat pergi haji."
Yang lebih aneh. Sekarang saya dan istri lebih nyaman shalat berjamaah padahal dulu kami harus bergantian shalat karena menjaga anak-anak kami yang masih kecil. Tentunya dengan cara shalat secara tergesa-gesa dan tetap saja anak kami merengek-rengek mengganggu.
Sekarang dengan kuasaNya kami makin sering shalat berjamaah, dengan berlahan, durasi lebih lama dan anak-anak perasaan tak lagi mengganggu. Jika pun ingin digendong tak masalah sambil shalat ia digendong.
Demikian pula ketika saya berada di kantor. Dulu rasanya tak ada waktu untuk shalat di mushala depan kantor karena deadline pekerjaan memburu.
Kini setelah berhaji saya menjadi jamaah langganan shalat Magrib lalu disambung mengaji menunggu shalat isya. Pimpinan pun tak persoalkan saya menghilang dari kantor selama dua jam tersebut. Pekerjaan juga tak memburu. Normal-normal saja waktu penyelesaian pekerjaan seperti dulu.
Yang luar biasa..sejak menjadi wartawan dan redaktur yang memiliki jam kerja malam, shalat tarawih saat Ramadhan kok begitu susah dilaksanakan. Ramadhan selama sekian tahun dijalankan dengan kering nuansanya tak sekental dulu.
Bahwa terlepas dari lemah dan tidaknya perintah untuk menunaikan (rukun ...) Shalat jamaah 40 waktu di Masjid Nabawi namun rutinitas itu memberi dampak para jamaah haji setiba di Tanah Air juga rajin menunaikan shalat berjamaah di masjid.
Otot dan persendian rasanya tak lagi susah diajak untuk bergerak ke masjid dan bergerak lekas dan lama menunaikan shalat.(fir)