Firibook, Jumat (8/11) - Sejak tak lagi menjadi karyawan, tak lagi memiliki kantor tak lagi didera dengan berbagai tugas, target dan deadline, saya relatif memang tak lagi melakoni aktivitas yang mekanis selain dua hal yakni mengantar anak dan menunggu adzan shalat. Dua itu yang rutin tiap hari.
Pekerjaan dan project sekadar sampingan yang tak rutin. Imbasnya terlihat, terlihat loh ya... agak saleh dan taqwa gitu. Plus dengan kebiasaan menulis di blog dan mengupload status FB yang rada-rada alim, Islami, dan akhirat banget..membuat saban disapa oleh rekan dengan sebutan ustad.
Awalnya rada canggung disapa demikian merasa gak pantas aja...tapi belakangan sudah bisa menerima karena sapaan tersebut...memang sekadar olok-olokan rekan aja.
Selain untuk menyenangkan rekan yang mengolok juga agar saya merasa tidak lebih baik dari yang lain atau tetap sebagai yang rendah dan bukan siapa-siapa. Kita memang suka mengolok-olok, mencari objek candaan dan menciptakan penderita dalam perbincangan dan bersosialisasi kita.
Jurus menerima olok-olokan ini (selama masih proporsional) sebenarnya rahasia saya hidup di Makassar. Bahwa tipikal masyarakat Bugis-Makassar yang mengagungkan harga diri membutuhkan pihak yang merelakan diri untuk menjadi sisi guna melambungkan harga diri yang berbentuk lebih jago, lebih kaya, lebih sukses, lebih berharga, dan lebih yang lainnya.
Dalam teori komunikasi, strategi negosiasi, seni bergaul pun demikian adanya. Tukul Arwanalah yang telah mengkapitalisasi dan sukses karena hal ini. Mengolok-olok diri sendiri dan gembira diolok-olok menjadikan Tukul sebagai pelawak termahal saat ini.
Di kehidupan bermasyarakat kita pun demikian, ada budaya mencantolkan panggilan dan sebutan olok-olokan pada nama sebenarnya seseorang. Yah..Andre Hirata si penulis Laskar Pelangi menyebut kebiasaan ini sebagai ciri budaya komunal.
Untuk menjadi lebih dari orang lain sebenarnya sejak kita disekolahkan merupakan awal menyuburkan ego tersebut. Kita bersaing dengan rekan sekelas untuk menjadi juara agar kita menjadi sosok yang ditetapkan sebagai yang terpintar.
Keseharian kita melalui trend dan lifestyle juga sebenarnya merupakan kejelian industri dan kapitalisme memanfaatkan rasa dan obsesi kita untuk mau dianggap lebih bergaya, lebih style, dan lebih terlihat kaya.
Di lingkungan kerja pun demikian. Politik kantor dan kompetisi agar dianggap sebagai karyawan terloyal hingga paling berprestasi dimata manajemen dan pimpinan adalah salah satu sirkuit perlombaan lain yang membutuhkan vitalitas dan napas yang kuat.
Menjadi caleg, berebut menjadi komusioner di KPU hingga menjadi PNS pada seleksi CPNS, tentu tak lepas dari nafsu untuk menjadi lebih dari yang lain. Demikian pula dengan menjadi pebisnis. Jelas sekali kompetisi di dunia ini.
Untuk menjadi lebih dari yang lain mau tak mau kita mengorbankan banyak hal. Keluarga, persaudaraan, hingga menomor duakan iman. Yah itulah harga dari ingin merasa lebih itu.
Padahal merasa lebih dari yang lain merupakan satu dari dua ciri kesombongan. Ciri lain yakni enggan menerima kebenaran dari Allah dan Rasul.
Dan kesombongan kita walau sebesar biji zarah/sawi akan menjadi penghalang kita masuk surga. Setan dikutuk Allah karena kesombongannya merasa lebih baik dari Adam.
Pun...jika kita merasa lebih taqwa dan lebih beragama ....
Nauzubillah... (@firlafiri)
