![]() |
| Tato Je digubuk sawahnya di Tolo Ncandi |
Bapaknya Zein yang dikenal sebagai Ompu Duru Je merupakan salah satu ulama di kampung kami dan menjadi "guru ngaji terbang" antar desa dan wilayah di Bima. Mengutip dari referensi Perang Dena 1910, seangkatannya Tuan Guru H. Assidik, H. Yunus, H Ahmad Abu ladija, H. Mahamu Abu La beda, Abdul Aziz Ama Hami.
Istrinya Hj Nurma merupakan wanita tergolong cantik untuk ukuran desa, karena perawakan besar tinggi dan berkulit putih bersih. Yah sedikit memberi kontribusi pada kegantenganku hahahaiiii....(ganteng dari Hongkong..).
Tato Je dan Hj Nurma merupakan percabangan utama dari segelintir rumpun keluarga yang membentuk komunitas warga Dena (hmmm kepingin menelusurinya). Jadi sebenarnya warga desa Dena ke atas-atasnya merupakan satu rumpun keluarga besar yang saling berkaitan darah.
Menyebut Tato Je bagi kami dan warga desa adalah menyebut sosok kecil, pendek dan hitam (hitamnya saya dari sini kayaknya...) sebagai seorang yang ulet dan pekerja keras. Keuletan dan kerja keras inilah membuatnya menjadi petani tergolong berhasil dengan hasil panen yang selalu berlimpah.
Bukan saja sukses bertanam, beranak pun, Tato Je tergolong yang berlimpah hahaha.... Bapak saya almarhum H Abdullah HAR, dan paman dan bibi saya Muhdar, Muhidin, Yamin, Suharni, almarhuma Khadijah (Ija), Ua Iyam, almarhuma doji.
Konon anak-anaknya (bapak, paman dan bibi saya) tidak sedikit pun dididik dalam kemanjaan. Mereka dididik dan dibesarkan dalam kedisiplinan, keras, kesederhanaan, dan tegas. Sekelumit cerita dari para anak-anaknya menggambarkan ketegasan itu yakni tak akan bisa makan/diberi makan kalau belum menyelesaikan satu tugas di sawah seperti menyiram hingga memikul jagung, padi dan ubi.
Orang-orang tua kami merupakan generasi-generasi awal warga Dena yang ngotot dibesarkan dengan pendidikan formal. Yang kemudian memang Tato Je berhasil menghasilkan sejumlah anaknya sebagai pendidik.
Salah satu cerita luar biasa dari Tato Je yang membuat saya terkesima yakni keuletan dan kerja kerasnya memindahkan/meluruskan aliran sungai di kampung kami. Sungai (Sori Dena) sepanjang 300-500 meter, lebar 10-20 meter dan kedalaman 5 meter yang awalnya membelah sawah Tolo Ncandi dipindahkan sehingga aliran sungai menyusuri bibir bukit Doro Dena. Seorang diri.
Ahh..sungguh tak masuk diakal. Tapi ini benar adanya cerita sebagai "lelaki Si Pemindah Sungai". Aktivitas dan kerja kerasnya ini pun yang membuatnya tak betah berlama-lama tinggal bersama anak-anaknya di Jakarta. "Ti loa ku losa tai kueee/Saya tidak bisa beol kalau bukan di sungainya itu," saat menjawab pertanyaan polosku suatu hari.
Di usia senjanya pun ketika fase pikunnya rute ke sawahnya (tolo ncandi) sangat dihafalnya, selain rute ke masjid, ia ngotot untuk tetap shalat berjamaah di masjid berjarak 500 meter dari rumahnya meski kondisi setengah buta dan ringkihnya. (InsyaAllah teladan ketakwaan/shalat berjamaah ini yang ingin saya contohi)
Seingatku Tato Je juga merupakan sosok yang sebenarnya flamboyan. Yah dengan penampilan memukau salalu ngotot untuk menonton pacuan kuda. Pacuan kuda merupakan event dan hiburan rakyat terbesar dan dinanti-nantikan di Bima.
Diusia SD dan SMP, saya mengingat Tato Je dengan aktivitas rutinnya tiap bulan Muharam yakni melayani orang-orang kampung yang datang untuk dibuatkan adonan kue. Warga kampung mempercayai adonan kue (apa ya namanya ? waduh kok saya lupa), "Kapore" (kalau ndak salah) buatan Tato Je bisa membuat pintar di sekolah dan rajin bekerja.
Tepung beras, diaduk dan diremas dengan gula merah dan kelapa lalu ada ritual menggosok bibir kaca cermin, remah-remah kaca itu dicampur dalam adonan siap santap itu. Hahaha....ada-ada saja.
Tapi bukan kebetulan juga sih karena anak dan cucu-cucunya juga dianggap memiliki kecerdasan di atas rata-rata anak kampung. Ilmu dan wiridannya itu entah kepada siapa dan anak-anaknya yang mana diwariskan.
Satu aktivitasku yang sangat lekat ku ingat terhadap Tato Je, yakni begitu ia senang dan bangga dengan kegiatannku menanam/berkebun pisang di lahan belakang rumahnya. "Wah mungkin ini cucuku yang akan meneruskan kebiasaan kerja kerasku bertani," mungkin itu gumamnya. Walau selanjutnya terbukti salah, hahahaha..mending saya jadi wartawan/penulis.
Saya bersama saudara-saudara saya merupakan cucunya yang berkempatan tinggal bersamanya di kampung, sedangkan para sepupu-sepupuku (cucu-cucunya yang lain) mereka tinggal di kota dan luar pulau (Jakarta dan Makassar).
Jika para cucunya libur dan menjenguknya di kampung, kami biasa dijatah menikmati "Sasako" dan bermain panjat pohon jampu di depan rumahnya. Menurut info pohon jampu batu itu masih tumbuh dan terus dipetik buahnya oleh anak-anak warga. Itu pula alasanku ngotot menanam pohon jambu batu jenis bangkok di depan halaman rumahku di Makassar tentunya bersama pohon pisang untuk mengenang Tato je dan almarhum bapakku.(*)
