.

.

Rabu, 09 Oktober 2013

Kami Terbiasa Makan Pagi, Bukan Sarapan

Firibook, Rabu (9/10) - Pagi ini perasaan saya kurang nyaman, bawaan mual, setelah tadi menyantap sarapan atau tepatnya makan pagi. Saya berinisiatif menggoreng omelet (moga betul, itu mie instan direbus lalu diadukdengan telur lalu di goreng).

"Makanya jangan terlalu banyak pa, katanya sendiri sesuatu yang berlebihan tidak baik," tegur istriku sembari maju mundur kiri dan kanan mendorong gagang pelnya pagi tadi. Iya saya menggunakan 2 bungkus mie instan dan 2 telur ayam, dan saya habiskan sendiri. Mual kemungkinan karena minyak goreg bekas pakainya istri semalam saya gunakan.



Sungguh saya kekenyangan pagi tadi. Sarapan pagi dengan sekenyang-kenyangnya sebenarnya bukan hal baru bagi kami orang desa. Kami memang terbiasa menyantap sarapan bukan ala porsi orang kota yang sekadar dua lapis roti bakar atau penganan ringan plus kopi atau teh hangat.

Porsi kami untuk sarapan ya layaknya untuk porsi makan siang dan malam. Yang kenyang tentunya. Kenyang yang kami kejar tentunya dengan menyendok nasi tak cukup 1 piring saja atau ubi sebanyak-banyaknya. Kenapa demikian ? Kepada istri dana anak-anakku saya bertutur, kami di kampung harus memiliki persediaan energi yang cukup untuk bekal bekerja di sawah dan kebun.

Kebiasaan kampung ini lumayan dinikmati oleh istri saya, karena saban usai shalat subuh saya masuk dapur untuk membersihkan sisa-sisa makan dari tadi malam. Jadi relatif kurang makanan terbuang. Tak soal enak atau perlu dihangatkan yang penting bisa mengenyangkan pagi-pagi.

Sedangkan istri dan anak-anak saya terbiasa dengan sarapannya roti bakar dan penganan yang tak mengenyangkan itu. Untuk menguatkan alasan atas kebiasaan makan pagi, saya sedikit mengkerenkan penjelasan kenapa makan pagi/sarapan yag cukup sangat penting, di ataranya mengutip penjelasan para pakar. "Tapi kan tidak kekenyangan sampe mual gitu kali pa..." sergah istriku

Menulis cerita soal sarapan ini, saya jadi teringat rutinitas pagi buta di kampung kami, Desa Dena Madapangga Bima. Untuk kebutuhan lauk para ibu berbelanja subuh di cabang, pertigaan pusat desa. Deretan penjual ikan siap santap khas Bima yang dibungkus dengan pelepah daun pinang bisa dibeli dengan harga murah.

Yang paling favorit ikan tangiring/jenis tuna. Ikan-ikan itu dimasak/kukus kayaknya hanya dengan memberi garam lalu dibakar. Terakhir merasakan ikan siap santap seperti itu saat saya dan rekan menginap di Malino. Tapi asinnya minta ampun.

Pasar subuh itu mulai ramai saat jelang azan subuh dan berakhir ketika matahari pagi mulai terik. Menjadi tempat berkumpul dan interaksi khas juga bagi para bapak-bapak yang usai menunaikan shalat berjamaah di masjid.

Teriakan para ibu-bu pedagang ikan (yang berasal dari kampug lain) menjadi ciri tersendiri suasana pagi di kampung kami. Ibu-ibu pedagang mengenakan kain sarung khas Bima, tembe nggoli, yang disematkan ala berbusana Bima pula yakni "Rimpu" untuk menahan dingin pagi. Wallahuallam apa masih ada pasar ikan subuh itu sekarang di kampung.

Suasana pagi juga diramaikan oleh iring-iringan remaja dan anak-anak mengajak kudanya untuk mandi di sungai. Bunyi telapak kaki kuda menjadi alarm pagi membangunkan warga. Mereka berlomba ke sungai agar segera stampal/menati penumpang di pertigaan jalan pusat desa (kami menyebut cabang).

Ah pasti sudah hilang suasana itu. Karena informasi terakhir kendaraan tradisional benhur menggunakan kuda sudah hilang digantikan ojek dan angkot.

Saya sendiri biasanya saat pagi, menyelinap masuk ke pekaragan tetangga untuk mencari buah jambu dan buah mangga yang jatuh karena masak atau sisa santaa kelelawar. Ada kebanggaan tersendiri kepada teman sepermainan jika mendapatkan buah terbanyak.

Buah yang diperoleh kami santap sembari duduk mengelilingi "api unggun" pembakaran sampah/daun kapuk kering. Hmmm...masih teringat aroma khas asap daun kapung kering yang dibakar itu. Pohon kapuk pun sudah punah di dalam kampung, masih tersisa satu-dua batang di pinggiran kampung.

Di sela itu kami berlomba siapa yang memiliki "asap" mulut paling banyak. Ya saking masih dinginnya kampung kami dulu, saat berbicara keluar uap dari mulut. Sekarang sudah tidak ada lagi uap itu. Pagi malah kegerahan. Hmmm....jaman berubah.(*)