Firibook, Kamis (31/10) - Senin lalu, awal pekan ini, saya berkesempatan menjadi pemateri/guru pembina untuk ekstrakokorikuler jurnalistik/penulisan di SD IT Al Insyirah, sekolahnya anak sulung saya.
Kegiatan tersebut sebagai realisasi dari ide kami pengurus Komite SD IT Al Insyirah untuk memberikan kegiatan ekskul kepada murid yang sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Lagi pula, barusan ada mantan jurnalis (kayaknya..) yang menjadi pengurus komite dan orang tua murid di SD Islam terpadu tersebut.
Menjadi pemateri jurnalistik dan penulisan tentunya bukan hal yang asing bagi saya. Saat aktif menjadi jurnalis di Tribun Timur, saya berkesempatan mengisi materi tetap diklat jurnalistik di Unit Kegiatan Mahasiswa asal saya Unit Penerbitan dan Penulisan Mahasiswa (UPPM) UMI.
Beberapa kegiatan serupa dari beberapa komunitas dan organisasi pun tak jarang pula berlakon sebagai pemateri.
Pekan lalu, misalnya, saya diundang Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Sulsel menjadi narasumber strategi pengembangan media online di forum Rakor Fasilitator Kabupaten PNPM MPd se-Sulsel di Hotel Singgasana, Makassar.
Berbicara di hadapan seratusan faskab tersebut saya anggap seperti berbicara di forum serupa di kampus. Tentunya masih dengan gaya mengesankan diri sebagai yang "paling jago" untuk urusan/tema yang disampaikan/dibawakan di hadapan para sosok "sinterklas" bagi para masyarakat di 200-an desa se-Sulsel itu.
Ya..hal ini bisa dianggap wajar toh...13 tahun menjadi jurnalis dan menduduki jabatan strategis di media tentunya bukan waktu sedikit untuk saya mengklaim lebih jago dan mengetahui banyak hal tentang media dibanding mereka para faskab. Kambuh nih..penyakit post power syndromnya hahahaha....
Namun Senin kemarin, saya dibuat tersipu malu dan kalah menjadi pemateri jurnalistik. Memang sih..ini kali pertama pula bagi saya menjadi pemateri penulisan dengan anak-anak sebagai pesertanya. Medannya betul-betul baru bagi saya.
Saya datang sore itu sebagai pemateri dengan segudang bekal cerita yang membanggakan terkait pengalaman berwartawan, setumpuk konsepsi dan teori penulisan, dan seabrek motivasi untuk siap saya suapkan kepada anak-anak SD itu.
Saat kelas ekskul dibuka saja saya mulai rada gak enak perasaan. Saya langsung memulai dan mengenalkan diri setelah tentunya sebelumnya membuka dengan alhamdulillah dan shalawat sebagai pengantar berbicara dihadapan anak-anak ini. Biasanya sih gak pake pengantar yang Islami gini sih...
"Baca doa belajar dulu ustad...agar diridhoi Allah," interupsi seorang anak. Saya kelabakan karena memang tak pernah punya hafalan doa-doa dan tak terbiasa dengan tradisi ini. Mereka pun serempak membaca doa dengan nyaring dan koor...
Aman....? belum, karena selanjutnya bukan lagi rasa malu yang hadir tapi rasa kalah dari anak-anak ini.
Itu tak lain ada dua anak yang bercerita dalam perkenalan dirinya kepada saya sudah hobi menulis dan karya-karyanya telah dibukukan dan diterbitkan oleh penerbit nasional, seperti Mizan. Ha.......
Koleksi bacaannya pun novel-novel tebal best seller di Gramedia seperti karya JK Rowling. Karya mereka pun jenis fiksi ilmiah dan fantasi. Keluguan bahasanya betul-betul menampar kesombongan saya.
Saudara-saudara...kami ini wartawan (mantan) memiliki segunung amunisi kesombongan dan kepercayaan diri. Apapun yang Anda mau ceritakan akan kami ladeni.
Bagaimana tidak. Pertemanan (jaringan) kami luas dari tukang becak hingga gubernur dan menteri/presiden. Kami memiliki akses yang mudah dimana-mana sehingga pengalaman dan cerita lebih banyak, plus kami pun disegani dan merasa Anda lebih membutuhkan kami.
Mungkin ini barang kali faktor mengapa profesi ini sudah berada di 10 besar yang paling diminati di Indonesia.
Tapi kami punya satu titik kekalahan. Tak mampu dan sulit menulis (dan menerbitkan) buku. Kalau pun ada yah..dipaksa-paksain terbit satu-dua judul buku, itu pun hanya segelintir jurnalis yang mampu. Dan mereka yang segelitir inilah yang didaulad memiliki kebanggaan dan "kasta" yang lebih tinggi di profesi ini.
Dan..anak-anak itu.... uhfff saya malu.... (@firlafiri)