.

.

Minggu, 15 September 2013

Menumbuhkan Spirit Entrepreneur Anak

FIRIBOOK - Ini masih cerita dari ajang rapat komite orang tua murid SDIT Al Insyirah. Saya mendapat giliran terakhir dari sesi tanya jawab pihak bapak2 Sabtu kemarin. Point pertama (sudah saya tulisakan kemarin) soal menciptakan wadah komunikasi, informasi dan keakraban bagi para orang tua.

Point kedua soal kegiatan ekstra korikuler yang dirancang oleh pihak sekolah bagi anak-anak kami. Dari beberapa usulan kegiatan ekstra korikuler yang di floorkan oleh pihak sekolah relatif sudah umum dan biasa seperti english camp dan olah raga.


Mengacu pada pergulatan dan kegairahan yang pernah dan sedang saya nikmati, saya mengusulkan tambahan kegiatan ekskul. Yakni market day, arabic camp, penulisan.

Secuil alasan yang saya kemukakan untuk memperkuat pendapat saya tersebut. Dan sebenarnya inilah alasan saya mengajukan usulan itu.

Market Day

Sudah umum kita ketahui, sekolah dan sistem pendidikan kita saat ini lebih banyak porsinya mendidik anak untuk menjadi jongos, buruh, karyawan, pegawai pemerintahan (PNS) yang digaji. Bukannya mendidik anak memiliki karakter sebagai bos yang menggaji dan pemimpin yang berkarakter.

Salah satu upaya untuk hal itu antara lain dengan mendorong, mendidik dan menumbuhkan hobi berdagang dan spirit sebagai pengusaha (entrepreneur). Karena menjadi pedagang/pengusaha merupakan sunah Rasul. Rasulullah mendorong ummatnya untuk menjadi pedagang.

Dengan iming-iming yang dikemukakan beliau yang juga telah banyak yang mengetahuinya yakni 10 pintu rejeki 9 diantaranya milik pedagang/pengusaha. Sebaliknya Rasulullah "melarang" untuk menjadi PNS disalah satu hadisnya yakni :

Abdurrahman bin Samurah r.a. berkat: Nabi sallahuallaihi wassalam bersabda kepadaku: Hai Abdurahman bin Samurah, engkau JANGAN MELAMAR JABATAN PEMERINTAHAN, maka jika jabatan itu diserahkan kepada mu tanpa melamar engkau akan ditolong Allah, dan jika engkau menjabatnya karena melamar maka akan diserahkan sepenuhnya kepadamu.(HR Bukhari, Muslim dalam Al-Lu'lu wa Marjan/Mutiara hadist shahih Bukhari Muslim)

Tentunya banyak cara agar anak-anak mulai terbiasa dengan mengajaknya menggeluti hobi berdagang. Salah satu yang bahasa yang saya provokasikan kepada bocah saya misalnya "Kalau kita membeli uang kita berkurang nak, tapi kalau kita menjual uang kita bertambah. Jadi enakkan menjual kan...?"

Efektif sih memahamkan mereka anak-anak. Saat ini anak sulung saya yang masih kelas 1 SD lagi senang-senangnya melakoni mainan barunya, menjual. Ramadhan lalu ia bersama adiknya menjual main-mainan dan sukses meraup profit Rp 200 ribu.

Uang itu sebagian dia dan adiknya pake beli sepede baru. Tentunya kami sebagai papa/mamanya lebih banyak menambahkan. Tapi dia sudah bisa bercerita sepeda yang dia pakai hasil keringatnya.

Saat ini, ketika teman-temannya di komplek saban usai main sepeda selalu ingin beli minuman dingin, peluang itu dibacanya lalu merengek ke mamanya untuk menjual minuman shacet, Pop Ice. Laris manis, sepekan bisa habis 90-100 sachet dengan harga jual Rp 1.000 tanpa diracik, Rp 1.500 jika dibuatkan (dishack dengan air dingin dan es batu lalu dibungkus dalam plastik atau pakai gelas plastik/harga Rp 2.000).

Ekspansi baru pun dilakukannya dengan menambah jualan roti bakar. Hanya saja, seiring perkembangan dagangannya ini mama dan "neneknya" malah yang kerepotoan melayani para customer. Dapur pun menjadi sering berantakan yang mendadak disulap menjadi outlet cafe dengan menu Pop Ice dan Roti Bakar.

Hanya saja kami jadi senang karena anak-anak lebih banyak main di halaman rumah. Oh ya...bakat menjualnya mulai saya dan istri baca karena mereka selalu main jual-jualan dan setiap ke supermarket mereka selalu mengamati aktivitas kasir memencet-mencet mesin hitung/pembayaran. lalu mereka praktikkan.

Melihat semangat ini saya berharap sekolahnya juga turut mendorong para murid lain untuk itu. Karena anak jadi bisa belajar mandiri, berhitung dan memasarkan ide-ide dan keahliannya. Yah...minimal tiap sekali sebulan anak-anak murid disiapka hari pasar untuk menjual apa saja kreativitas mereka kepada sesama teman-teman dan orang tua murid lain. bertukar jualan gitu...

Arabic Camp
"Kok English Camp sih... Kenapa bukan Arabic Camp?" Harusnya menurut saya sebagai SD Islam Terpadu kenapa bukan bahasa Arab yang didorong untuk dipelajari. Belajar bahasa Inggris sudah banyak tempat dan lebih mudah sekarang. Yang sulit dan jarang yakni kursus bahasa Arab.

Lagi pula pertimbangannya bahasa Arab adalah bahasa yang dipakai oleh Allah dalam Al Quran. Bukankah kita disuruh menjadikan al Quran sebagai pegangan dan solusi/arah hidup. Realitasnya sekarang quran memang tak menarik dibaca (buktinya hanya tiap Ramadhan kita kebanyakan membukanya) bisa jadi karena kita tak mengerti apa yang dibahas.

Betul ada terjemahan, tapi kenyataannya menurut sebuah survei belum sampai 5 persen dari ummat Islam di Indonesia yang pernah membaca dan menamatkan tuntas terjemahan Al Quran.

Saya sendiri punya hasrat untuk ikut kursus bahasa Arab. Itu tak lain karena pengalaman saat berhaji 2010 lalu melihat betapa nikmatnya orang-orang Arab membaca al Quran di Masjidil Haram dan Nabawi sembari menangis tersedu-seduh lalu bersujud (mungkin saat itu pas lagi dapat ayat sajadah). Lah...saya membaca saja, sedikit pengalaman dan pengetahuan spiritual yang bisa diraih saat membacanya.

Alhamdulillah sekarang sudah ada al Quran tafsir per kata. Jadi saat ngucapkan la..tahu itu berarti tidak. Du nikmatnya kalau mengetahui makna saat membacanya.

Penulisan
Keahlian dan hobi menulis akan mendorong anak untuk rajin membaca. jika anak sudah rajin membaca akan memiliki banyak kata-kata, pemahaman dan wawasan. Jika anak telah memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas maka apa lagi yang dikhawatirkan bagi masa depan anak ?


Sudah teramat banyak intelektual oral yang jago bicara dan menjadi singa mimbar di Sulsel, tapi hanya segelintir yang bisa menuliskan pemikiran dan idenya. Tiap tahun puluhan profesor yang dihasilkan oleh Unhas, UNM, UIN dan universitas swasta di Makassar, tapi mana karya mereka ?

Sudah teramat banyak aktivis mahasiswa yang menjadi jagoan forum, perdebatan dan mimbar-mimbar jalan tapi belum ada segelintir pun para mahasiswa Makassar yang memiliki buku karyanya dan dapat dihitung jari yang aktif menulis opini di media.

Saya sendiri bersyukur dengan modal awal kegemaran menulis diary sejak SMP menjadi bekal menjalani karir sebagai jurnalis hingga menjadi redaktur ekonomi dan bisnis di Tribun. Kini menjual kemampuan menulis dengan menawarkan jasa melalui usaha konsultan Media Relation dan Publishing yang saya dirikan. Padahal saya sendiri berlatar pendidikan eksakta.

Yah...memiliki kemampuan menjual akan menjamin keahlian yang dimiliki bisa diuangkan/dipasarkan untuk bekal dunia. Memiliki kemampuan bicara bahasa Arab akan lebih mudah memahami al Quran dan hadist maka menjadi pribadi yang cinta syariat dan memiliki ketaqwaan sebagai bekal akhirat.

Memiliki kemampuan menulis minimal menjadi stimulus untuk gemar memaca dan cinta buku. Maka kegemaran inilah yang bisa jadi bekal untuk banyak hal. Setuju...?(https://www.facebook.com/firmansyah.har)