FIRIBOOK - Membaca media pagi ini, membuat saya baru tersadar dua hari lagi pencoblosan pilwalkot Makassar. Usai terlibat sebagai pekerja politik pada pilgub Sulsel lalu, saya memutuskan untuk tak lagi terlibat dan melibatkan diri pada hiruk-pikuk perpolitikandaerah ini.
Bagi saya keputusan ini tentunya memberi imbas saya menjadi sosok yang apolitic. Tak lagi tertarik membaca, menonton dan mendiskusikan perkembangan wacana dan isu soal pilkada. Kemungkinan sih saya rencana golput, agar menjadi golongan yang waras dalam sikap politik.
Hehehehe..itu mengacu pada salah satu pernyataan seorang mantan teman sejawad yang kini menjadi dosen budaya di UNM, Aslam Abidin di sebuah headline, "Sosok kandidat tidak ada yang bisa diteladani, maka jika masih banyak masyarakat yang berpartisipasi dalam pilkada berarti masih banyak warga Makassar yang tak waras."
Saya menjadi tak peduli ada tidaknya kartu pemilih yang saya dan keluarga terima. Dan, terbahak-bahak dengan lelucon dan lawakan saling serang kandidat di iklan media cetak.
Lagi pula beda dibandingkan dengan pilgub lalu, bapak-bapak di masjid antusias berdiskusi dan saling sindir soal calon yang didukung. Kini, asli kami seakan bersepakat tak ada yang menarik dibicarakan soal pilkada Makassar.
Ada beberapa ide jamaah untuk mengundang calon berkunjung ke masjid, tentunya agar ada bantuan melanjutkan pembangunan masjid tapi tak ada yang serius menanggapi. Ada calon yang merealisasikan bantuan dan saya acuh tak acuh melibatkan diri.
Apalagi setelah mengetahui, fatwa haram dari MUI Sulsel soal menerima bantuan dan uang tunai yang pasti itu money politik. Ehh...tapi lantaran menulis catatan apolitic ini kok mendadak saya jadi peduli sama politik sih....? Udah ah nanti saya berpolitik lagi....(https://www.facebook.com/firmansyah.har)