FIRIBOOK - Siang ini membuka-buka album foto di FB ku, aku mendapatkan foto tautan dari seorang ori (paman) aba Ola, foto kakek kami H Abidin yang dikenal di kampung kami di Desa Dena, Madapangga, Bima dengan sapaan Abu Siki.
Oh ya Abu Siki itu berasal dari nama paman saya (adik ibu saya)
Asikin, sehingga dipanggil oleh orang kampung dengan Abu Siki,
bapaknya si Asikin. Sungguh "Islami" tradisi di kampung kami, dengan
sebutan/panggilan ala Arab, laiknya perawi hadist terkenal Abu Hurairah bapak dari para kucing (Abu Hurairah memiliki peliharaan kucing yang banyak).
Kabar terakhir dari kampung, beliau sudah sering sakit-sakitan karena tua. "Mai dula pu tio nahu anae...nggadu pu hape/pulang cucu nengok saya, jangan lupa kirimkan hp)," ucapnya dengan suara ringkih dari balik telepon saat ku menelponnya tempo hari.
Terakhir Abu Siki menjabat sebagai lebe (imam masjid raya) di desa kami. Jadi saya merupakan cucu dari seorang imam masjid saudara-saudara (trus emang kenapa....hehehee?), bukan saja satu tapi saya cucu dari dua imam masjid di desaku. Yah..selain Abu Siki sebagai kakek kandung, saya juga memiliki kakek tiri yang juga imam masjid sebelumnya.
Ahh...masih jelas teringat lagu dan langgam khasnya membacakan surah-surah pendek saat mengimami warga Dena. Sewaktu SD-SMP di kampung, suaranya yang paling diingat saat menjadi imam shalat taraweh (maklum shalat taraweh dan subuh saat Ramadhan lah yang sering saya dan anak-anak seusia kami ikuti).
Kami menjadikan shalawat usai tiap dua rakat taraweh sebagai ajang main-main dengan berteriak sekencang-kencangnya "wa barik alaeeeee" (belum sempat cari tahu tulisan benar dan maknanya sampai sekarang). Bid'ah ...tapi saya rindu dengan teriakan itu.
Sebelum menjadi imam, saya juga teringat dengan ritual yang beliau pimpin sebagai pengantarnya sesaat sebelum khatib jumat naik ke mimbar. Kurang lebih artinya memperingatkan jamaah agar tidak ribut dan berbicara. "Midi mena ka de e mena na kasih kara aden ba rumah Allah huta allah..."
Yang paling berkesan lagi bagi saya hingga saat ini yakni hadiah yang beliau berikan kepada saya dan menjadi kebanggaan ku sampai sekarang. Sebagai juri tetap tiap MTQ tahunan kampung kami ia memiliki hak proregatif menentukan juara.
Dan kepada saya beliau berikan hadiah terbaik yang bisa saya sandang yakni juara terakhir, juara harapan ketiga. Sudah juara harapan, yang ketiga pula kikikikikk...., ya yang terakhir. Tidak apa-apa dan saya anggap wajar walau sedikit merasa berdosa dengan peserta lain.
Juara itu sungguh sungguh berkesan bagiku dan menjadi motivasi, spirit dan sugesti terbaik untuk terus belajar al quran dan rajin membacanya. "Gini-gini papa ini juara MTQ loh..." begitu biasanya saya membanggakan diri kepada istri dan anak-anakku.
Tiap membaca al quran saya sering teringat momen saya menjadi juara itu dan wajah Abu Siki selalu hadir bersama guru mengajiku yakni umiku Hj Atikah dan ustd Yamin Poro. Al fatihah selalu dariku buat mereka.
Bagaimana saya mengetahui juara itu sebagai hadiah dari Abu Siki. Tanpa sengaja saya menguping, "rapat persekongkolan" umiku dan bapaknya Abu Siki. "Abu ka juara pu ana mu dee..sebagai hadiah ba wa u ra loa na ngaji/Bapak berilah juara cucumu, sebagai hadiah karena sudah pintar mengaji," suara umiku dari balik tembok.
Saat mendengar itu saya tidak terlalu memikirkan, tapi belakangan baru saya sadar bahwa persekongkolan mereka itulah yang membuat saya meraih juara itu. Sampai saat ini, hingga 30-an tahun kisah itu berlalu, saya belum sempat mengkonfirmasikan kepada Umiku dan Abu Siki.
Terkadang juga saat tangan saya gatel untuk menggergaji ini dan itu serta memaku dan memalu sisa-sisa kayu untuk saya buat sesuatu "kerajinan tangan" saat libur dari kesibukan, saya sering merasa ini bakat dari Abu Siki. Abu Siki disela tugasnya menjadi lebe dan pegawai pencatat nikah merupakan tukang kayu, menerima order buat lemari dan kursi dari warga.
Saya sering mengambil tanpa sepengetahuannya palu, gergaji dan pahat dari peti kayu perkakasnya. Soal aksi pencurianku ini pun rasanya belum diketahui olehnya sampai sekarang. Beliau kemudian sangat protektif terhadap perkakas pertukangannya, ia tak mau meminjamkan perkakasnya kepada siapapun, termasuk kepada ibuku anaknya.
Dalam interaksi kami tak seakrab dan cair seperti hubungan kakek dan cucu kebanyakan. Saya mengira itu imbas dari perceraiannya dengan nenek kami (Khadijah/ibu dari umi kami). Walau pun demikian, Abu Siki tetap berusaha memposisikan diri sebagai seorang kakek bagi kami.
Moga tetap sehat dan panjang umur Abu Siki.... Dalam percakapan telepon itu ia mendesak lagi agar saya pulang dengan alasan, "Ku ne e ja rau eda wai ku ma haji ni anaee."(*)
