Artikel Marketing New Wave Hermawan Kartajaya (4 dari 100)
TAHUN 2008 memang luar biasa! Saya masih ada di Bangkok ketika terkejut melihat CNN pas tanggal 2 Januari 2008. Harga minyak telah menyentuh angka USD 100 per barel!
Suatu batas psikologis yang menakutkan banyak orang ketika itu. Setelah itu harga minyak dunia terus meroket sampai USD 147 per barel pada tanggal 11 Juli 2008 ketika ada persoalan tentang uji coba misil Iran.
Harga minyak dunia ini kemudian baru turun lagi sampai di tingkat USD 112 per barel pada tanggal 11 Agustus 2008. Bayangkan, hanya dalam jangka waktu 1 bulan harga minyak sudah naik-turun drastis seperti ini.
Harga minyak kembali diperkirakan akan naik karena adanya serangan topan Gustav yang melanda kawasan eksplorasi minyak di AS akhir Agustus ini. Maka, sekarang orang sudah tidak berani berandai-andai lagi, akan jadi berapa harga minyak ini berikutnya.
Bersamaan dengan harga minyak yang mirip roller-coaster itu, harga komoditas lain termasuk logam mulia emas juga naik turun gak keruan. Akibatnya, menteri keuangan dan gubernur bank sentral di seluruh dunia kebingungan.
Kenapa? Karena mereka tidak tahu harus melakukan apa. Mendadak saja, kepala pemerintahan di seluruh dunia jadi sibuk mengendalikan inflasi. Ya, inflasi inilah komoditas politik baru yang bisa dijadikan alasan untuk mengganti pemerintahan.
Mungkin ada yang mikir, kalau harga minyak tinggi, bukankah negara-negara penghasil minyak dan pengekspornya bisa mendapatkan keuntungan yang tinggi juga? Jangan keliru. Mereka ini juga tidak terlalu happy dengan situasi semacam ini.
Dulu, harga minyak memang lebih banyak ditentukan OPEC. Organisasi inilah yang "membuka dan menutup keran" untuk mengatur suplai yang akan mempengaruhi harga minyak di pasar dunia.
Maklum, komoditas yang tidak punya diferensiasi ya tergantung pada hukum supply and demand. Sekarang, harga minyak dan komoditas, termasuk logam mulia, bisa jadi lebih dipengaruhi oleh gerakan horisontal para investment banker.
Atas nama return maximisation untuk klien, para manajer investasi lantas berandai-andai. Kalau mereka percaya bahwa investasi di satu jenis komoditas akan bagus, maka otomatis akan terjadi aliran uang ke sana, dan terjadilah demand semu...!
Inilah yang mengakibatkan terjadinya efek herding dan self-fulfilling prophecy. Satu pergi ke satu arah, yang lain mengikuti karena takut ketinggalan. Kemudian, dengan sendirinya terjadilah apa yang diandaikan tadi.
Pendapat bahwa kebutuhan akan pangan dan energi karena laju pembangunan yang begitu tinggi di Cina dan India adalah penyebab satu-satunya kenaikan harga minyak dan komoditas terbukti tidak valid.
Buktinya, terjadi bubble burst juga akhirnya. Harga-harga mulai mereda kembali. Selain itu, mungkin banyak yang tidak sadar kalau harga minyak dunia ini sebenarnya telah merangkak naik sejak tahun 2003.
Padahal pada waktu itu, di kedua negara tadi, Cina dan India, tidak terjadi lonjakan demand. Namun memang waktu itu terjadi perang Irak. Sekali lagi, ini membuktikan bahwa kenaikan harga minyak dan komoditas bukanlah semata disebabkan oleh adanya demand dari Cina dan India.
Ada yang bilang itu permainan politik negara-negara besar. Tapi yang pasti, tesis decoupling dari Peter Drucker di tahun 1986 memang makin terbukti.
Lebih dari duapuluh tahun lalu, sang Begawan Manajemen ini menulis bahwa aliran uang yang beredar ke sana kemari sudah lepas hubungannya dengan gerakan barang dan jasa yang diperdagangkan.
Padahal, waktu itu teknologi informasi dan komunikasi belum sedahsyat sekarang. Pada saat ini, kita semua harus siap menghadapi ekonomi roller-coaster yang disebabkan oleh kekuatan moneter Horisontal. Para pengusaha dan pemasar harus bisa hidup dengan hal tersebut.
Persis kayak penderita diabetes yang belum ada obatnya. Paling-paling yang bisa dilakukan ya harus diet ketat, makan obat, banyak olah raga, dan hidup sehat. Singkatnya, "New Lifestyle". Begitu juga dengan pemasar yang mulai sekarang perlu menerapkan New Wave Marketing.
Bagaimana dengan Indonesia? Kita masih beruntung punya komoditas yang ikut dapat windfall profit ketika harganya tinggi untuk mengkompensasi kenaikan harga minyak.
Kita juga beruntung punya Gubernur Bank Sentral Budiono dan Menko Ekuin Sri Mulyani. Keduanya punya kredibitas internasional sehingga bisa sedikit membantu meredakan kepanikan.
Memang, di era Ekonomi Horisontal seperti sekarang ini, kredibilitas cukup punya peran di samping kebijakan moneter dan fiskal yang diambil.
Kredibilitaslah yang menjadi pegangan karena ia memberikan kepercayaan, hal paling prinsipil dalam dunia bisnis. Apalagi di tengah situasi ekonomi yang masih seperti roller coaster seperti sekarang.(kcm/firmansyah)