Artikel Marketing New Wave Hermawan Kartajaya (7 dari 100)
BAGI saya, Asia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya, telah dan sedang mengalami tiga era marketing. Era yang pertama terjadi sebelum tahun 1998. Saya menyebutnya sebagai era Pseudo Marketing.
Pada era ini, orang sudah belajar marketing, tapi tidak banyak yang menerapkan dengan benar. Kenapa? Ya karena lebih enak ber-"KKN ria".
Lihat saja, berapa banyak konglomerat, bukan cuma di Indonesia, tapi juga di Malaysia, Thailand, Filipina, dan bahkan Korea, yang masuk ke bisnis apapun. Mereka bisa berkembang dengan pesat terutama karena "dekat" dengan pemerintahan saat itu.
Kompetensi tidak terlalu diperlukan, yang penting koneksi. Apalagi saat itu masih banyak monopoli dalam berbagai sektor bisnis.
Setelah krisis Asia, banyak perusahaan jadi sadar bahwa kalau mau survive (bertahan) mereka harus bisa lebih kompetitif. Buku-buku marketing mulai dibuka kembali. Konsep-konsep yang ada dalam buku-buku tersebut mulai diterapkan.
Sejumlah konglomerat juga melakukan refocusing supaya bisa lebih konsentrasi menjalankan bisnisnya. Analisis pasar dilakukan, dan persaingan mulai berlangsung secara fair (adil). Era setelah 1998 sampai sekarang inilah yang saya sebut sebagai era Legacy Marketing.
Setelah 2008, sepuluh tahun setelah krisis Asia, saya mengatakan sekarang inilah dimulainya era New Wave Marketing. Di Indonesia, era New Wave Marketing ini sudah bisa terlihat tanda-tandanya secara jelas.
Di zaman Pak Harto dulu, semuanya sangat vertikal. Mulai dari politiknya, di mana Golkar menang terus dan presidennya Pak Harto terus. Peraturan-peraturan diputuskan oleh pemerintah pusat dan berlaku untuk seluruh Indonesia.
Ekonominya juga sangat terpusat dan vertikal karena semuanya diatur dari Jakarta. Daerah-daerah cuma bisa mengajukan usulan untuk kemudian menunggu pembagian rezeki dari pusat (Jakarta).
Begitu juga aspek sosial-budaya. Semua orang ramai-ramai belajar bahasa Jawa, yang dianggap merupakan bahasa nasional kedua tidak resmi. Grup lawak Srimulat juga jadi terkenal karena guyonan-guyonan khas Jawanya.
Banyak orang yang sebenarnya tidak mengerti bahasa Jawa terpaksa belajar bahasa Jawa agar bisa diterima di lingkungan pergaulan maupun di kantornya.
Market pun sangat terpusat. Karena itu, strategi perang pemasaran pun terpusat di Jakarta. Semuanya dibuat oleh kantor pusat di Jakarta. Persis seperti struktur pemerintah, maka organisasi perusahaan juga begitu.
Kepala wilayah atau kepala cabang tinggal jadi pelaksana belaka. Inilah ciri-ciri pasar yang Vertikal.
Lantas, bagaimana sekarang? Masih banyak perusahaan atau organisasi yang tidak menyadari bahwa pasar telah jadi horisontal. Banyak yang belum mendesentralisasikan organisasi pemasarannya.
Padahal, mulai dari aspek political-legal, economy, sampai ke social-culture, semua daerah di Indonesia sudah beda-beda akibat otonomi daerah.
Dalam bidang politik misalnya, koalisi partai di satu daerah dan daerah lain bisa sangat berbeda. Bahkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang punya konstituen orang Islam dan Partai Damai Sejahtera (PDS) yang punya konstituen orang Kristen pun bisa berkoalisi untuk pemilihan kepala daerah di Papua.
Apalagi ekonominya. Sekarang, orang di luar Jawa bisa lebih kaya daripada orang di Jawa justru ketika terjadi inflasi secara nasional. Hal ini karena sumber daya alam yang menghasilkan komoditas ekspor ada di luar pulau Jawa semua.
Begitu juga dengan aspek sosial-budaya. Tiap-tiap daerah sekarang sangat bangga dengan budaya masing-masing. Karena itu, sebuah perusahaan sekarang membutuhkan strategi perang pemasaran market by market.
Kemenangan Anda akan ditentukan oleh jumlah secara agregat dari kemenangan perang di daerah. Anda tidak bisa lagi hanya membuat satu strategi untuk semua.
Tentu, Anda harus mempunyai sebuah umbrella strategy. Tapi, setelah itu tiap-tiap field marketer di daerah harus menerjemahkannya menjadi strategi daerah masing-masing.
Di era pasar yang horisontal ini, kepala cabang bukan lagi middle manager yang hanya jadi pelaksana. Tapi, kepala cabang harus jadi mini-general manager yang membuat keputusan strategis.
Pertanggungjawaban vertikal ke atas (Kantor Pusat) harus dicapai lewat aplikasi strategi ke samping secara horisontal (pasar). Kepala cabang harus punya kreativitas dan bisa melakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan kondisi pasar yang dihadapinya. Tentu saja harus tetap dalam koridor-koridor Umbrella Strategy yang telah ditetapkan.
Bukankah customer memang harus dilayani secara horisontal? Karena mereka memang gak peduli. Di manapun mereka berada, mereka menuntut layanan yang sama dari brand yang sama.
Kalau ada perbedaan layanan, customer akan bingung dan bukan tidak mungkin akan meninggalkan Anda.(kcm/fir)
* Hermawan Kartajaya, Pakar Marketing