.

.

Sabtu, 01 Februari 2014

Bismillahirahmanirrahim, Mengkhidmati Umi Mengais Ridho-Nya

FIRIBOOK, Sabtu (1/2/2014) - "Bismillahirahmanirrahim... dapat giliran menjaga dn melayani umi. Moga jadi pintu keridhoan Allah dan ladang amal utk kebaikan dunia akhirat." Ini status Facebook saya pagi ini.

Saya betul-betul menjadikan kedatangan orang tua, ibu kami, Umi, nenek satu-satunya yang tersisa bagi dua anak kami, sebagai moment bersejarah, hal yang teramat penting untuk kami sikapi oleh pikiran dan perasaan kami.


Selama ini, sepeninggal bapak kami, suaminya, Umi kami secara bergiliran dijaga oleh saudara kami yang lain di Bima dan Jakarta. 

Hari ini, saya dan istri mendapat giliran untuk menjaga dan melayaninya di sisa umurnya. Kedatangannya kali ini memang untuk rencana tinggal lama, moga hingga tutup usianya dan berbaring dalam keabadian bersama suaminya, almarhum bapak kami yang juga kami kebumikan di Makassar ini.

Saya, istri dan kedua putri kami tentunya menyambut dengan haru biru dan riang kedatangan ibu kami dengan tujuan tinggal bersama kami. Terutama si bungsu, Ai, yang memang belum pernah melihat langsung neneknya.

Sepeninggal mertua saya, anak-anak kami merasa sudah tidak memiliki nenek. Kerinduannya pada sosok nenek membuat anak-anak kami memanggil semua para keluarga yang tua-tua dengan sapaan nenek.

Kerinduan ini pula menjalar kepada saya dan istri. Apalagi berbagai referensi dan pemahaman kami berdua menumpuk dan menyemangati untuk memanfaatkan orang tua untuk meraih keridhoan Allah, menjadi ladang amal bagi kebaikan dunia dan akhirat.

Saat mertua dan kedua orang tua saya lengkap, perasaan seperti ini sungguh tidak pernah kami sadari. Kini setelah tinggal satu-satunya orang tua kandung dari saya dan istri, perasaan rindu dan ketakutan tidak menjadikan orang tua sebagai ladang amal menjangkiti kami.

Kami khawatir menjadi anak yang disebut "Malang", laiknya dalam sebuah hadist "Malanglah ia, malanglah ia, malanglah ia. Seorang (anak) yang hidup cukup lama menyaksikan hari tua ibu-bapaknya, tetapi gagal memperoleh surga (dengan jalan mengkhidmati/melayani mereka)." (HR Bukhari Muslim).

Apalagi bagi saya (dan tentunya saya bagikan cerita ke istri) salah satu amalan yang direkomendasikan oleh para motivator, succses story orang sukses dan nasihat para ulama  untuk kesuksesan dan kebahagiaan kita di dunia dan tentunya akhirat yakni berkhidmat pada orang tua.

Ippho Santosa dalam buku best sellernya 7 Keajaiban Rejeki menjadikan/menyebutnya sebagai sayap malaikat. Pengusaha "mantan" bangrut puluhan milaran rupiah, Happy Trenggono, melalui Indonesia Islamic Business Center (IIBF) menjadikan amalan melayani orang tua sebagai salah satu doktrin organisasi. 

Betapa penting dan utamanya berkhidmat pada orang tua. Cerita kebangkrutan dan testimoni kebangkitan para pengusaha di organisasi temapt saya aktif itu sungguh didominasi oleh karena dosa besar kedurhakaan pada orang tua dan bangkit setelah bertobat dan mengerahkan segala upaya menyenangkan dan membahagiakan mereka.

Puncaknya tentu dari Rasulullah menyebutkan, kegembiraan dan kebahagiaan orang tua merupakan salah satu sebab ridho Allah kepada kita. Sebaliknya kemarahaan dan ketersinggungan orang tua terhadap ucapan dan perilaku kita adalah kemurkaan dan laknat Allah pula. 

Untuk itu, Rasulullah me-warning/memperingatkan kita untuk sekadar menyebutkan "ah..." saja pada mereka akan menjadi pintu bagi kedurhakaan dan laknat Allah pada kita. Bagaimana jika sempat membentak dan memakinya. Nauzubillah...

Betapa besarnya kemuliaan dan banyaknya keutamaan berkhidmat pada orang tua membuat amalan ini tentu otomatis menjadi musuh dan agenda utama setan untuk melalaikan kita. Wajarlah jika banyak ditemui dan didengar cerita kedurhakaan anak.  Itulah salah satu kemenangan setan menjerumuskan kita.

Karena setan tidak akan pernah rela kita berkhidmat kepada orang tua untuk kita meraih janji Allah atas amalan itu. Setan tidak akan pernah rela kita meraih kemuliaan dan derajat terbaik. Kemuliaan di hadapan Allah memang berbanding lurus dengan beratnya ujian yang akan kita peroleh.

Enak saja...untuk beli pakaian terbaik, mobil terbaru saja kita perlu membayar mahal. Lah ini kita dijanjikan ridho Allah dan surga, tentu harganya jauh-jauh lebih mahal, lebih berat misalnya dalam bentuk kemarahan dan kelelahan. Pokoknya ridho Allah dan kesenangan abadi surga harganya tidaklah murah dah...

Menyadari hal ini, saya dan istri pagi tadi lebih awal duduk bersimpuh di hadapan satu-satunya orang tua kami yang hidup itu untuk mempertanyakan apa yang menjadi keinginannya dari saya dan istri untuk menyenangkan dan membahagiakannya di sisa usianya.

Sekadar info...agenda ini mempertanyakan keinginan orang tua merupakan contekan dari buku On-nya Zamil Anzaini. Benar saja persis seperti yang dituturkan Zamil kepada orang tuanya dalam bukunya. 

Umi kami, boro-boro memberondong kami dengan sederet keinginan malah yang ada hanya linangan air matanya membasahi pipinya sembari lirih berucap, "Saya sudah tak ada lagi keinginan dari kalian anak-anakku, selain hanya menitipkan pesan. Jangan membuat kami orang tua tersinggung apalagi memarahi saya sebagai ibumu," 

"Insyallah Umi," jawab kami dengan pasti. Untuk itu kami pun lebih awal memohon keridhoan dan ampunannya jika dihari-hari selanjutnya muncul sisi buruk dan lalai kami sebagai anak, sebagai manusia.

Jawaban itu tentu tak membuat saya puas dan mendesaknya untuk mengungkapkan keinginannya. Apalagi saya sudah siap jika ia berucap untuk keinginan, berangkat haji atau umrah lagi, atau ingin dibelikan ini dan itu. 

Nihil...namun karena kami terus mendesak. Maka ia pun mengatakan, "Kalau begitu ajak saya tiap bulan mandi di oi mori (air hidup) air yang langsung dari mata air." Uhh...kirain apa...siap, lah Bantimurung dekat ini dari rumah...(firmansyah lafiri)