FIRIBOOK - Usai mengantar kakaknya sekolah (sulung Adwa'mantika Cakrawala F), anak saya yang kedua (bungsu) Amyrah Ikhlasani F mengajakku "berdiskusi", "Pa, banyaknya dii olang yang berljiblab (jilbab), caya, kk wawa dan pahila (Fahira anaknya tetangga), teman2 kk wawa juga."
"Iye adek, orang berjilbab di sayang ....." tanyaku. "Dicayang (diridhoi) Alloh (dengan mulut yang dimanyungkan). Kalau dicayang belalti bica ka minta apa saja papa di...?" Iye...adek mau minta apa sama Allah", "Mau minta mainan kokek-kokek (jualan mas2)"
Ah...sederhana dan murah niat keinginan mereka anak-anak. Pantas saja mereka bahagia dan ceria, karena kebutuhan dan keinginannya yang begitu simpel dan tak membebani.
Lalu kenapa kita orang dewasa sedemikian tak cerdas membebani diri dengan berbagai kebutuhan dan keinginan yang menggusuarkan, menggelisahkan, memperbudak dan mempenjarakan diri sendiri. Yang semuanya dipicu ingin yang lebih besar, lebih banyak, lebih bagus dan lebih-lebih lain yang terwujud dalam berbagai kebendaan.
Siklus keinginan dan kebutuhan manusia dewasa yang menjadi beban hidup itu sepengetahuan saya dimulai dari periode remaja. Ketika life style menjadi segalanya di usia itu. Gadget terbaru dan canggih harus dimiliki, fasilitas hiburan wajib ada, puncaknya jika bisa memiliki motor dan mobil.
Kebanyakkan sih...keinginan ini masih membebani orang tua, dan orang tua pun tak mau kalah dengan orang tua-orang tua lain yang telah melengkapi fasilitas anak-anaknya. Uh...menuliskannya saja teras lelah dan rumit keinginan-keinginan itu.
Lalu ketika dewasa dan menikah maka dimulailah pertarungan kehidupan dalam arena konsumeristik, hedonisme, dan kemewahan. Maka....realitas hari ini praktek RIBAWI lah sebagai solusi dari sekian kebutuhan dan keinginan itu.
Seluruh sendi dan relung kehidupan kita tak lagi ada yang luput dari aroma riba. Mau menikah butuh biaya, maka kredit perbankan jadi jalan pintas. Sudah menikah dan berumah tangga harus punya rumah dan isinya, semuaaaanya pun kini lebih mudah dibeli dan dimiliki dengan riba melalui pembiayaan.
Sungguh telah diprediksi oleh Rasulullah "akan datang masa ketika mereka yang tidak mau makan riba pun terkena debunya." Seluruh tata kehidupan pada masa itu bercampur dengan riba hingga kita tak bisa menghindarinya.
Maka...ketika riba dinikmati, selamat datang kesengsaraan dan dicabutnya keberkahan dari Allah. Karena telah sangat jelas dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu a'nhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda “Riba memiliki tujuh puluh tiga pintu (dosa), dan yang paling ringan (dosa)nya adalah bagaikan seseorang yang menikahi ibunya.”
Fakta saat ini telah nyata, kejahatan merajalela, musibah dan siksa dunia marak. Atau yang paling sederhana deh...betapa sulitnya kita meraih kekhusukan shalat. Ah...seandainya kita sadar itu ada kontribusi dari 1 rupih riba yang kita nikmati. Wallahuallam...(https://www.facebook.com/firmansyah.har)