.

.

Jumat, 13 Maret 2009

AirAsia, Perusahaan yang Menang karena Dukungan Masyarakat

Artikel Marketing New Wave Hermawan Kartajaya (15 dari 100)

ANDA tahu legenda David vs Goliath? Kisah yang sangat terkenal ini terdapat baik pada Kitab Injil maupun dalam Al Quran. Kalau dalam Al Quran, nama tokohnya masing-masing adalah Daud dan Jalut.
Dikisahkan bahwa David, seorang pemuda penggembala yang bertubuh kecil serta hanya bersenjatakan ketapel dan batu, berhasil membunuh Goliath, seorang raja berbadan tinggi besar yang memakai baju besi serta bersenjata lengkap.
Setelah berhasil mengalahkan Goliath, David pun kemudian dipilih menjadi raja oleh rakyatnya. Kisah ini menunjukkan bahwa kecerdikan lebih penting daripada kekuatan fisik. Bagi saya, kisah ini mirip dengan apa yang terjadi antara AirAsia dan Malaysia Airlines (MAS). AirAsia layaknya David yang menantang sang Goliath, MAS.

Bagaimana tidak. Dibanding MAS yang didirikan tahun 1947, AirAsia tergolong maskapai penerbangan baru. Walaupun sebenarnya sudah didirikan sejak tahun 1993, AirAsia bisa dibilang baru benar-benar lahir sejak Desember 2001.
Ketika itu, Tony Fernandes lewat perusahaan Tune Air Sdn Bhd-nya membeli AirAsia dari pemilik lama, DRB-Hicom, sebuah konglomerasi yang dimiliki oleh pemerintah Malaysia, senilai hanya satu ringgit Malaysia!
Ini bisa terjadi karena AirAsia saat itu memiliki utang yang luar biasa besarnya. Fernandes kemudian berhasil melakukan corporate turnaround dan membuat AirAsia mulai meraup keuntungan sejak tahun 2002.
Strategi utama yang dibuat Fernandes adalah dengan menentukan positioning AirAsia sebagai low fares airlines. Ketika di-relaunch, AirAsia langsung menyodorkan tarif promosi sebesar satu ringgit Malaysia.
Dengan tag line "Now Everyone Can Fly"-nya, kehadiran Air Asia mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat kebanyakan yang belum pernah naik pesawat sama sekali.
AirAsia memang mati-matian mempertahankan struktur biayanya serendah mungkin. Saya sendiri pernah diajak oleh Tony Fernandes ke kantornya, dan dia dengan bangga bilang bahwa kantornya adalah "The Smallest Airlines Office in the World".
Tony Fernandes memang orang yang unik. Ia tidak punya pengalaman atau latar belakang pendidikan di bidang penerbangan. Ia adalah akuntan yang suka bermain musik. Sebelum mengelola AirAsia, Fernandes menjadi salah seorang eksekutif pada Warner Music Group.
Di atas semuanya, Fernandes memang marketer tulen. Ia menjalankan strategi marketing-nya dengan konsisten. Ia berupaya mengurangi biaya-biaya yang tidak perlu agar bisa memberikan harga tiket yang murah kepada penumpang. AirAsia pun menerapkan sistem tanpa tiket dan tanpa nomor kursi kepada penumpang.
AirAsia juga memelopori penggunaan internet sebagai channel. Ini jelas dapat menekan biaya karena berarti AirAsia tidak perlu mengeluarkan komisi untuk travel agent.
Iklan-iklannya juga bersifat langsung, hanya menampilkan rute penerbangan beserta tarifnya yang murah; dan konsisten dengan warna merah sebagai warna korporatnya. Untuk memperkuat mereknya, AirAsia pun tidak segan-segan mensponsori klub sepak bola Manchester United dan tim Formula Satu AT&T Williams.
Semua itu adalah langkah cerdik AirAsia sehingga mampu menyetir persaingan. AirAsia bahkan dianggap sebagai "the people's airlines" oleh orang Malaysia. Tony Fernandes menjadi sosok "the people's hero" karena dianggap mampu memberikan kebanggaan kepada bangsa Malaysia. Jika Anda perhatikan, di hidung pesawat AirAsia Malaysia ada bendera Malaysianya.
Kisah AirAsia ini memang agak kontras dengan MAS. Selama beberapa tahun belakangan, MAS mengalami kerugian yang tidak sedikit. Pada tahun 2005 misalnya, kerugiannya bahkan mencapai 1,3 milyar RM.
MAS yang seharusnya flag carrier berubah jadi lost carrier karena rugi terus. Hal ini mengakibatkan MAS terpaksa memotong sejumlah rute penerbangannya, terutama penerbangan jarak jauh seperti ke Eropa.
Pemerintah Malaysia sebagai pemilik MAS pun turun tangan dengan menyuntikkan sejumlah modal dan melakukan pergantian pucuk kepemimpinan. Di bawah kepemimpinan Datuk Idris Jala, CEO baru yang dilantik pada Desember 2005, pelan-pelan MAS mulai bangkit. Sejumlah program turnaround dilakukan sehingga MAS pun mulai mencatat keuntungan.
MAS juga "berani" membuat program Everyday Low Fares sejak awal Mei 2008. Iklan dengan warna latar merah ini sangat mirip dengan iklan AirAsia sehingga bisa membuat orang terkecoh.
Kisah AirAsia vs MAS ini memang sangat menarik karena walaupun MAS tidak mati seperti Goliath, ia harus mati-matian melawan "David" (AirAsia).
Kalau AirAsia adalah simbol horisontal karena bisa berkembang berkat dukungan masyarakat, maka MAS merupakan simbol vertikal. Walaupun rugi cukup lama, namun MAS bisa tetap survive karena dibantu Pemerintah Malaysia.
Inilah contoh nyata peperangan Legacy Airlines vs New Wave Airlines; Vertical vs Horizontal Airlines.(kcm/firmansyah)

* Hermawan Kartajaya, pakar marketing